Monday, January 28, 2019

Sejarah Awal dan Substansi Pemikiran Teori Konflik


1.      Sejarah Awal dan Substansi Pemikiran Teori Konflik
                        Teori konflik yang lahir sampai saat ini adalah merupakan karya-karya besar dari para ahli seperti yang diungkapkan oleh Jessi Bernard dalam bukunya The Sociological of Conflict yakni terbit pada tahun 7957, Lewis Coser dengan bukunya The Function of Social Conflict terbit pada tahun 1956 dan Ralf Dahrendorf dengan bukunya Class and Claas Conflict in Industrial Sociaty terbit pada tahun 1957. Teori konflik ini adalah merupakan bagian dari Teori Sosiologi Modern yakni para penganut Teori Sosiologis Naturalis. Perlu diketahui bahwa para pencetus dahulu yakni para penganut Aliran Naturalis terdahulu sering terikat pada ide yang memandang sosiologi sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu Alam adalah ilmu. Diantara para ahli sosiologi Naturalis terdapat mereka yang menggunakan ilmu fisika dan biologi sebagai model, maupun mereka yang terikat pada kesatuan semua ilmu, yakni Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, tanpa membedakan kedudukan setiap ilmu satu sama lain. Catton (1961), telah mengakui bahwa fisikalisme (menggabungkan Sosiologi dengan Ilmu Kimia Fisika dan mekanisme menggunakan prinsip-prinsip fisika mekanik untuk membantu menjelaskan fenonema sosial) sesuai dengan Aliran sosiologi Natural. Ia lebih jauh menyaksikan pengaruh kuat kaum empiris didalam sosiologi Naturalis dengan tekanan pada data yang dapat diuji. Oleh karena itu salah satu ciri yang paling penting dalam aliran naturalis adalah keyakinan bahwa fenomena sosial telah memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum dengan deterministis seperti layaknya hukum-hukum suatu pencarian hukum-hukum yang sama dengan Hukum Gravitasi dan Hukum Kepadatan Materi dalam Ilmu Fisika Pendekatan pada teori seperti ini paling tidak telah melahirkan tuntutan akan batasan Teori Sosiologi yang sederhana tetapi tepat.
Richard Rudher (1966), seorang ahli filsafat ilmu mendefinisikan Teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris. Batasan demikian membutuhkan batasan konsen variabel setepat-tepatnya yang kemudian akan melahirkan proporsi-proporsi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.
Hanya setelah diperiksa dalam berbagai pengujian dan secara empiris ternyata benar, barulah teori itu dapat diangkat ke dunia Hukum Ilmiah. Definisi Teori Rudner ini menuntut pembahasan lebih cepat bilamana kita ingin memahami hakekat teori Natural, khususnya mengenai pembatasan konsep, pembentukan proposisi dan keterkaitan dalam teori. unit dasar teori ini adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar pengujian empiris. Emile Durkheim Ahli Sosiologi yang menghasilkan karya klasik yang menjadi dasar tumpuan Teori Naturalis, menyebut konsep tersebut sebagai fakta sosial. Suatu fakta sosial adalah suatu konsep yang memiliki empiris di luar imajinasi seseorang. Bagi Durkheim fakta sosial meliputi antara status perkawinan, usia, agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri bisa naik atau turun, status seseorang bisa belum kawin atau sudah kawin. Konsep-konsep variabel dari para ahli sosiologi tersebut adalah merupakan dasar bagi pembentukan teori pada aliran Teori Naturalis telah terikat pada ketepatan konstruksi teori namun terdapat keragaman derajat keterikatan. oleh karena itu secara singkat dapat dikatakan bahwa teori Naturalis dapat bertemu pada Citra Ilmu Alam, lalu bagaimana dengan lahirnya Teori Konflik? Misalnya seperti tokoh-tokoh klasik pada abad ke-19 telah memberi perhatian besar pada teori Konflik. Vilfredo Pareto (1901-1902) telah menerangkan pergolakan dunia politik sebagai akibat mekanis pertentangan antara dua tipe individu yang disebut The Lions and rhe Foxes, yang secara bergilir menunggu kesempatan untuk berkuasa. w.G. Summer (1906, telah menciptakan konsep kerjasama yang antagonistis yang diandalkan mewakili inti hakekat masyarakat. Dalam abad yang lalu yang dikutip oleh K.J. veger (1993), memahami kehidupan manusia yakni pada kehidupan sosial budaya ditentukan oleh adanya dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi, yang kaum industriawan yang mengontrol alat-alat produksi, dan kaum proletariat yang diandalkan hanya berhak melahirkan keturunan. Pada awalnya abad ini c.H. Simmel (1909), dan Max weber (1894), masih tetap menarik perhatian pada gejala konflik, yang nampaknya tak mungkin terhindarkan, namun memainkan peranan positif dalam memperhatikan masyarakat. Tetapi sesudah mereka kata konflik tidak terdengar lagi kecuali dalam arti negatif. Paradigma masyarakat yang mengarahkan dan menuntun kebanyakan sosiolog sampai dengan dasawarsa keenam, masih menempatkan konsep pada kesesuaian paham sedangkan konflik dapat dianggap sebagai penyakit masyarakat seperti apa yang dikemukakan oleh Talcot Parsons (1938). Di satu pihak  Dunia Barat mengalami perkembangan ekonomi dan tingkat kemakmuran yang tak ada bandingnya. Sementara negara-negara baru merdeka menggugat kapitalisme Barat dan bertanggung jawab atas kemiskinan dan keterbelakangan. Oleh karena itu dentuman seperti kata Imperialisme dan Neo Kolonialisme Amerika Serikat misalnya telah melibatkan diri dalam perang Vietnam. Lalu dengan adanya pergulatan ini maka lahirnya sebuah teori baru yakni teori konflik. Studi tentang lahirnya teori konflik seperti yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser bahwa para ahli sosiologi sebelumnya (klasik) justru selalu mengabaikan studi tentang konflik. Coser (1956:16-19) dalam membahas teorinya yakni seorang berkebangsaan Amerika menyatakan pemahaman tentang konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat. Albion Amall dan George E. Vincen sebagai pengarang terkenal buku teks pertama Sosiologi Amerika, misalnya mencerminkan orientasi pembaharuan sosiologi ketika menulis sosiologi dilahirkan dalam semangat modern untuk memperbaiki masyarakat (dalam Coser 1956:17). Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer telah mengabaikan analisa konflik sosial, sebagai implicit melihatnya sebagai patologi bagi kelompok sosial. Coser selanjutnya memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. Dia melakukan hal ini dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan konflik sosial. Konflik adalah salah satu bentuk sosiologi yang dibahas oleh Simmel. Konflik merupakan bentuk interaksi dimana tempat waktu seperti intensitas dan merupakan bentuk interaksi dimana tempat, waktu dan intensitas dan sebagainya tunduk pada perubahan, sebagaimana dapat dilihat dalam isi segitiga yang telah berubah (dalam Aliran Geometri) Coser mengambil pemahaman atau buah karya dari Simmel dan memodifikasi proporsi dan memperluas konsep Simmel dalam mengembangkan kondisi-kondisi dimana konflik secara positif membantu struktural sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. Bukan saja Lewis Coser yang tidak puas dengan mengabaikan konflik dalam pembentukan Teori Sosiologi Moder, tetapi juga Ralf Dahrendrof seorang Sosiolog Jerman pada tahun 1957-1958 berkunjung ke Amerika Serikat telah menyadur kembali teori kelas dan konflik kelas ke dalam Bahasa Inggris. Seperti Coser, Dahrendrof merupakan seorang pengkritik fungsional struktural tradisional oleh karena gagal memahami masalah perubahan sosial. Sebagai landasan teorinya Dehrendrof tidak menggunakan teori Simmel melainkan membangun teorinya dengan setengah penolakan, separuh permintaan dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Dahrendrof melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial Dahrendrof menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama. kemudian dia menyempurnakan posisi ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural dapat pula dianalisa dengan teori konflik. Dia menegaskan bahwa proses konflik sosial merupakan kunci bagi struktural sosial.
2.      Hubungan Antara Teori Konflik dan Perubahan Sosial
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori Fungsional Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsional Struktural.Kalau menurut teori Fungsional Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Kalau menurut teori Fungsional Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas maka teori Konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
 Bahwa kalau penganut teori Fungsional Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya.
Konsep teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial. Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus diperhatikan di dalam susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap kemungkinan mendapatkan dominasi. Posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan didistribusikan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.
 Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tidak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: “sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”.
 Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Karena itu seseorang yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tak harus memegang posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain. Ini berasal dari argumen Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas.Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu ada dua, hanya ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk di dalam asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu “yang arah dan substansinya saling bertentangan”. Kelompok yang berada di atas dan yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama.
Kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan. Sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan terancam bahaya. Kepentingan yang terdalam satu golongan tertentu selalu dinilai obyektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongannya itu. Kekuasaan mengandung dua unsur yaitu penguasa dan orang yang dikuasai Kelompok, konflik dan perubahan.
Meskipun para anggota suatu kelompok kepentingan yang bersifat konflik diambil dari kelompok semu yang sama, tidak semua orang yang termasuk dalam kelompok semu yang sama itu harus bergabung dalam suatu kelompok kepentingan yang bersifat konflik untuk mengejar kepentingan kelasnya Di bawah kondisi yang ideal tak ada lagi variabel lain yang diperlukan. Tetapi, karena kondisi tak pernah ideal, maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial.
Konflik menurut Dahrendorf memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif. Teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas  sosial, konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.
3.      Peran Pendidikan (Islam) dalam Perubahan Sosial dari Sudut Pandang Teori Konflik
Pendidikan disepakati oleh banyak ahli memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan daya sai8ng yang tinggi. Lamanya mengenyam pendidikan  dinilai memiliki banyak pengaruh tehadap pembentukan daya saing seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi peluang seseorang untuk meningkatkan kualitas daya saing  mereka, dan semakin rendah tingkat pendidikan akan semakin sulit menumbuhkan kemampuan dan daya saing seseorang. Meluasnya lapangan kerja disektor industri dan bisnis, merupakan faktor yang mendorong tumbuh berkembangnya pendidikan, karena dua faktor tersebut mensyaratkan penyediaan sumberdaya manusia yang terlatih, terdidik dan profesional. Terdorong oleh kebutuhan akan kebutuhan kualifikasi pendidikan seperti itu, maka dalam kasus di Amerika Serikat, para pengusaha dan industri menguasai pengelolaan pendidikan di negeri yang pernah menggempur Iraq itu. Akibatnya pendidikan di Amerika Serikat kemudian lebih diartikan sebagai tempat mencetak tenaga kerja.
Namun sebenarnya, pendidikan bukan saja sebagai alat membentuk sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, melainkan di harapkan juga ikut menentukan terjadinya berbagai perubahan sosial. Sebagai catatan sejumlah ahli, bahwa pendidikan sangat berperan dalam pembentukan kelas profesional atau disebut dengan kelas menengah. Sebuah lapisan masyarakat  yang disebut sebagai sumber utama bagi terjadinya perubahan, apalagi memasuki masa-mas krisis. Bebagai pandangan kritis muncul diseputar pengelolaan pendidikan. Memang pendidikan di Indonesia disamping berhasil menyumbangkan lapisan masyarakat yang tidak juga melek huruf tetapi juga melek informasi. Pendidikan tidak saja berhasil memberi out put sejumlah sarjana berstrata satu tapi juga strata dua dan tiga, dalam maupun luar negeri. Pandangan kritis lain yang muncul terhadap pengelolaan pendidikan di Indonesia, antara lain juga dialamatkan kepada tingkat investasi yang ditanam. Investasi dibidang ini jauh lebih rendah dibanding dengan investasi didalam pembentukan modal fisik. Investasi dibidang pendidikan tersebut kemudian berdampak pada tertinggalnya tingkat daya saing SDM yang kita miliki. Kita melihat pada sisi internal dimasa sekarang sekolah haruslah melakukan upaya membangun sistem kelembagaan yang  efisien. Secara eksternal, sekolah haruslah memperhitungkan reputasi dan legitimasinya dimata masyarakat dengan asumsi. Jika itu bagus maka sekolah akan dengan mudah meraih dukungan dari masyarakat. Dukungan masyarakat adalah modal yang berharga bagi pengembangan dunia pendidikan.
Tuntutan terhadap lembaga inovasi juga datang karena desakan dari jalur pertumbuhan  yang datang dari luar sebagai hasil dari perubahan. Perlu dicatat bahwa perubahan itu sendiri justru merupakan sumbangan dari proses pendidikan baik langsung atau tidak langsung baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan faktor-faktor lain seperti faktor sosial,ekonomi, agama maupun politik. Pendidikan memberikan jalan efektif dalam membangun dan mempercepat perubahan. Sebaliknya arah,isi,tujuan,strategi, juga pemasaran pendidikan kemudian dipengaruhi oleh perubahan sosial.
Semua aspek kependidikan dengan demikian tidak bisa semata-mata bertahan dengan nilai-nilai lama. Meski tidak semua nilai lama harus dihapuskan namun pendidikan sudah harus selayaknya mempertimbangkan munculnya nilai-nilai baru menyerapnya dan kemudian mengadaptasikan kedalam proses kependidikan. Salah satu implikasi  dari perubahan itu kemudian mendorong terjadinya upaya melakukan reformasi menejemen pendidikan.
Para penentu kebijakan memasuki kata sepakat untuk mengubah manajemen pendidikan yang sentralistik menjadi desentralistik yang penjabarannya kemudian melahirkan kebijakan otonomi pendidikan. Sekolah kemudian ditempatkan sebagai pusat pengembangan pendidikan pengelola pendidikan disekolah menjadi pihak yang menentukan proses menejemen pendidikan seperti penentuan kurikulum, pembentukan dan penguatan kelembagaan, pemenuhan sarana prasana, teknik evaluasi, dan pembentukan jaringan kerja sama dengan masyarakat. Bahkan pengelola pendidikan disekolah yang menentukan misi pendidikan yang hendak dicapai yang dimasa lalu lebih banyak ditentukan oleh negara.
Dalam perkembangannya, banyak lembaga pendidikan  yang berusaha mengerahkan kemampuan kreatif mereka untuk menghimpun berbagai syarat-syarat pengembangan institusi pendidikan. Pengelola pendidikan kemudian harus melengkapi syarat kewirausahaan agar mampu menjamin kelangsungan proses belajar mengajar disekolah yang dikelolanya sesuai dengan jalur pertumbuhan yang berkembang saat ini.
Aspek lain dalam manajemen pendidikan yang selama ini belum tergarap secara sistematik adalah keterlibatan orang tua dalam pendidikan. Parental involvement memiliki keuntungan dan manfaat yang besar bagi pengelola pendidikan khususnya bagi para guru, siswa maupun dari orang tua itu sendiri. Namun keterlibatan orang tua selama ini tidak ditempatkan sebagai bagian dari elemen masyarakat pembelajaran, melainkan sekedar ditempatkan sebagai pihak donatur dari penggalian dana sekolah. Seharusnya orang tua ditempatkan sebagai bagian dari proses pembelajaran secara menyeluruh. Ada bagian –bagian dari proses pembelajaran yang bisa dilakukan orang tua misalnya dalam perencanaan dan penetapan program,memberi rujukan tentang strategi pembelajaran yang tepat sesuai karakter putra putri yang disekolahkannya, termasuk dalam keikutsertaan memberikan evaluasi terutama dalam rangka memantapkan praktek evaluasi.

0 comments:

Post a Comment