1.
Sejarah Awal dan Substansi Pemikiran Teori Konflik
Teori
konflik yang lahir sampai saat ini adalah merupakan karya-karya besar dari para
ahli seperti yang diungkapkan oleh Jessi Bernard dalam bukunya The Sociological
of Conflict yakni terbit pada tahun 7957, Lewis Coser dengan bukunya The
Function of Social Conflict terbit pada tahun 1956 dan Ralf Dahrendorf dengan
bukunya Class and Claas Conflict in Industrial Sociaty terbit pada tahun 1957.
Teori konflik ini adalah merupakan bagian dari Teori Sosiologi Modern yakni
para penganut Teori Sosiologis Naturalis. Perlu diketahui bahwa para pencetus
dahulu yakni para penganut Aliran Naturalis terdahulu sering terikat pada ide
yang memandang sosiologi sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu Alam
adalah ilmu. Diantara para ahli sosiologi Naturalis terdapat mereka yang
menggunakan ilmu fisika dan biologi sebagai model, maupun mereka yang terikat
pada kesatuan semua ilmu, yakni Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, tanpa membedakan
kedudukan setiap ilmu satu sama lain. Catton (1961), telah mengakui bahwa
fisikalisme (menggabungkan Sosiologi dengan Ilmu Kimia Fisika dan mekanisme
menggunakan prinsip-prinsip fisika mekanik untuk membantu menjelaskan fenonema
sosial) sesuai dengan Aliran sosiologi Natural. Ia lebih jauh menyaksikan
pengaruh kuat kaum empiris didalam sosiologi Naturalis dengan tekanan pada data
yang dapat diuji. Oleh karena itu salah satu ciri yang paling penting dalam
aliran naturalis adalah keyakinan bahwa fenomena sosial telah memiliki pola dan
tunduk pada hukum-hukum dengan deterministis seperti layaknya hukum-hukum suatu
pencarian hukum-hukum yang sama dengan Hukum Gravitasi dan Hukum Kepadatan
Materi dalam Ilmu Fisika Pendekatan pada teori seperti ini paling tidak telah
melahirkan tuntutan akan batasan Teori Sosiologi yang sederhana tetapi tepat.
Richard Rudher (1966), seorang ahli filsafat
ilmu mendefinisikan Teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis
berhubungan termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai
hukum, yang dapat diuji secara empiris. Batasan demikian membutuhkan batasan konsen
variabel setepat-tepatnya yang kemudian akan melahirkan proporsi-proporsi yang
saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah.
Hanya setelah diperiksa dalam berbagai
pengujian dan secara empiris ternyata benar, barulah teori itu dapat diangkat
ke dunia Hukum Ilmiah. Definisi Teori Rudner ini menuntut pembahasan lebih
cepat bilamana kita ingin memahami hakekat teori Natural, khususnya mengenai pembatasan
konsep, pembentukan proposisi dan keterkaitan dalam teori. unit dasar teori ini
adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar pengujian empiris.
Emile Durkheim Ahli Sosiologi yang menghasilkan karya klasik yang menjadi dasar
tumpuan Teori Naturalis, menyebut konsep tersebut sebagai fakta sosial. Suatu
fakta sosial adalah suatu konsep yang memiliki empiris di luar imajinasi
seseorang. Bagi Durkheim fakta sosial meliputi antara status perkawinan, usia,
agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri bisa naik atau turun, status
seseorang bisa belum kawin atau sudah kawin. Konsep-konsep variabel dari para
ahli sosiologi tersebut adalah merupakan dasar bagi pembentukan teori pada
aliran Teori Naturalis telah terikat pada ketepatan konstruksi teori namun
terdapat keragaman derajat keterikatan. oleh karena itu secara singkat dapat dikatakan
bahwa teori Naturalis dapat bertemu pada Citra Ilmu Alam, lalu bagaimana dengan
lahirnya Teori Konflik? Misalnya seperti tokoh-tokoh klasik pada abad ke-19
telah memberi perhatian besar pada teori Konflik. Vilfredo Pareto (1901-1902)
telah menerangkan pergolakan dunia politik sebagai akibat mekanis pertentangan
antara dua tipe individu yang disebut The Lions and rhe Foxes, yang secara
bergilir menunggu kesempatan untuk berkuasa. w.G. Summer (1906, telah
menciptakan konsep kerjasama yang antagonistis yang diandalkan mewakili inti
hakekat masyarakat. Dalam abad yang lalu yang dikutip oleh K.J. veger (1993),
memahami kehidupan manusia yakni pada kehidupan sosial budaya ditentukan oleh
adanya dua kelas sosial yang terlibat dalam proses produksi, yang kaum
industriawan yang mengontrol alat-alat produksi, dan kaum proletariat yang
diandalkan hanya berhak melahirkan keturunan. Pada awalnya abad ini c.H. Simmel
(1909), dan Max weber (1894), masih tetap menarik perhatian pada gejala
konflik, yang nampaknya tak mungkin terhindarkan, namun memainkan peranan positif
dalam memperhatikan masyarakat. Tetapi sesudah mereka kata konflik tidak
terdengar lagi kecuali dalam arti negatif. Paradigma masyarakat yang
mengarahkan dan menuntun kebanyakan sosiolog sampai dengan dasawarsa keenam,
masih menempatkan konsep pada kesesuaian paham sedangkan konflik dapat dianggap
sebagai penyakit masyarakat seperti apa yang dikemukakan oleh Talcot Parsons
(1938). Di satu pihak Dunia Barat
mengalami perkembangan ekonomi dan tingkat kemakmuran yang tak ada bandingnya. Sementara
negara-negara baru merdeka menggugat kapitalisme Barat dan bertanggung jawab
atas kemiskinan dan keterbelakangan. Oleh karena itu dentuman seperti kata
Imperialisme dan Neo Kolonialisme Amerika Serikat misalnya telah melibatkan
diri dalam perang Vietnam. Lalu dengan adanya pergulatan ini maka lahirnya
sebuah teori baru yakni teori konflik. Studi tentang lahirnya teori konflik
seperti yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser bahwa para ahli sosiologi
sebelumnya (klasik) justru selalu mengabaikan studi tentang konflik. Coser
(1956:16-19) dalam membahas teorinya yakni seorang berkebangsaan Amerika
menyatakan pemahaman tentang konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam
semangat pembaharuan masyarakat. Albion Amall dan George E. Vincen sebagai pengarang
terkenal buku teks pertama Sosiologi Amerika, misalnya mencerminkan orientasi
pembaharuan sosiologi ketika menulis sosiologi dilahirkan dalam semangat modern
untuk memperbaiki masyarakat (dalam Coser 1956:17). Akan tetapi para ahli sosiologi
kontemporer telah mengabaikan analisa konflik sosial, sebagai implicit
melihatnya sebagai patologi bagi kelompok sosial. Coser selanjutnya memilih menunjukkan
berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif untuk membentuk serta
mempertahankan struktur. Dia melakukan hal ini dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan konflik sosial. Konflik adalah
salah satu bentuk sosiologi yang dibahas oleh Simmel. Konflik merupakan bentuk
interaksi dimana tempat waktu seperti intensitas dan merupakan bentuk interaksi
dimana tempat, waktu dan intensitas dan sebagainya tunduk pada perubahan,
sebagaimana dapat dilihat dalam isi segitiga yang telah berubah (dalam Aliran
Geometri) Coser mengambil pemahaman atau buah karya dari Simmel dan memodifikasi
proporsi dan memperluas konsep Simmel dalam mengembangkan kondisi-kondisi dimana
konflik secara positif membantu struktural sosial dan bila terjadi secara
negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. Bukan saja Lewis Coser yang tidak
puas dengan mengabaikan konflik dalam pembentukan Teori Sosiologi Moder, tetapi
juga Ralf Dahrendrof seorang Sosiolog Jerman pada tahun 1957-1958 berkunjung ke
Amerika Serikat telah menyadur kembali teori kelas dan konflik kelas ke dalam
Bahasa Inggris. Seperti Coser, Dahrendrof merupakan seorang pengkritik fungsional
struktural tradisional oleh karena gagal memahami masalah perubahan sosial.
Sebagai landasan teorinya Dehrendrof tidak menggunakan teori Simmel melainkan
membangun teorinya dengan setengah penolakan, separuh permintaan dan modifikasi
teori sosiologi Karl Marx. Dahrendrof melihat teori konflik sebagai teori
parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk
menganalisa fenomena sosial Dahrendrof menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki
sisi konflik dan sisi kerjasama. kemudian dia menyempurnakan posisi ini dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme
struktural dapat pula dianalisa dengan teori konflik. Dia menegaskan bahwa
proses konflik sosial merupakan kunci bagi struktural sosial.
2. Hubungan
Antara Teori Konflik dan Perubahan Sosial
Teori
ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori
Fungsional Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan
oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori
Fungsional Struktural.Kalau menurut teori Fungsional Struktural masyarakat
berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan
maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam
proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara
unsur-unsurnya. Kalau menurut teori Fungsional Struktural setiap elemen atau
setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas maka teori Konflik
melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
Bahwa kalau penganut teori Fungsional
Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma,
nilai-nilai dan moralitas umum, maka teori konflik menilai keteraturan yang
terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau
pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.Dahrendorf adalah
tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan
konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian:
teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai
integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan
dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan
itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tak kan ada tanpa konsensus dan
konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan punya
konflik kecuali ada konsensus sebelumnya.
Konsep
teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta sosial.
Distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata tanpa kecuali menjadi
faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematis. Perbedaan wewenang
adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat. Perbedaan
posisi serta perbedaan wewenang di antara individu dalam masyarakat itulah yang
harus menjadi perhatian utama para sosiolog. Struktur yang sebenarnya dari
konflik-konflik harus diperhatikan di dalam susunan peranan sosial yang dibantu
oleh harapan-harapan terhadap kemungkinan mendapatkan dominasi. Posisi tertentu
di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang
lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya
bahwa perbedaan didistribusikan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan
konflik sosial sistematis”.
Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur
sosial yang lebih luas. Gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat
mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Dahrendorf tidak hanya tertarik pada
struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu:
“sumber struktur konflik harus dicari di dalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”.
Menurut Dahrendorf, otoritas tidak konstan
karena ia terletak dalam posisi, bukan di dalam diri orangnya. Karena itu
seseorang yang berwenang dalam satu lingkungan tertentu tak harus memegang
posisi otoritas di dalam lingkungan yang lain. Ini berasal dari argumen
Dahrendorf yang menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia
sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat terlihat
sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas.Otoritas
dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu ada dua, hanya ada dua
kelompok konflik yang dapat terbentuk di dalam asosiasi. Kelompok yang memegang
posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu
“yang arah dan substansinya saling bertentangan”. Kelompok yang berada
di atas dan yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama.
Kekuasaan
selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai maka dalam
masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Masing-masing
golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara
substansial dan secara langsung di antara golongan-golongan itu. Pertentangan
itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha
mempertahankan. Sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk
mengadakan perubahan-perubahan. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada
dalam keadaan terancam bahaya. Kepentingan yang terdalam satu golongan
tertentu selalu dinilai obyektif oleh golongan yang bersangkutan dan selalu
berdempetan dengan posisi individu yang termasuk ke dalam golongan itu. Seorang
individu akan bersikap dan bertindak sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan
yang diharapkan oleh golongannya. Dalam situasi konflik seorang individu akan
menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan oleh golongannya itu.
Kekuasaan mengandung dua unsur yaitu penguasa dan orang yang dikuasai Kelompok,
konflik dan perubahan.
Meskipun
para anggota suatu kelompok kepentingan yang bersifat konflik diambil dari
kelompok semu yang sama, tidak semua orang yang termasuk dalam kelompok semu
yang sama itu harus bergabung dalam suatu kelompok kepentingan yang bersifat
konflik untuk mengejar kepentingan kelasnya Di bawah kondisi yang ideal tak ada
lagi variabel lain yang diperlukan. Tetapi, karena kondisi tak pernah ideal,
maka banyak faktor lain ikut berpengaruh dalam proses konflik sosial.
Konflik
menurut Dahrendorf memimpin kearah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi
konflik golongan yang terlibat melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan
perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka
perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu
disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif. Teori
konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini
Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis Coser yang memusatkan perhatian
pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf
menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial, konflik juga menyebabkan perubahan
dan perkembangan. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah
kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan
perubahan dalam struktur sosial.
3.
Peran Pendidikan (Islam) dalam Perubahan
Sosial dari Sudut Pandang Teori Konflik
Pendidikan
disepakati oleh banyak ahli memiliki peran yang besar dalam penyediaan sumber
daya manusia yang berkualitas dan daya sai8ng yang tinggi. Lamanya mengenyam
pendidikan dinilai memiliki banyak
pengaruh tehadap pembentukan daya saing seseorang. Semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin tinggi peluang seseorang untuk meningkatkan kualitas daya
saing mereka, dan semakin rendah tingkat
pendidikan akan semakin sulit menumbuhkan kemampuan dan daya saing seseorang.
Meluasnya lapangan kerja disektor industri dan bisnis, merupakan faktor yang
mendorong tumbuh berkembangnya pendidikan, karena dua faktor tersebut
mensyaratkan penyediaan sumberdaya manusia yang terlatih, terdidik dan
profesional. Terdorong oleh kebutuhan akan kebutuhan kualifikasi pendidikan
seperti itu, maka dalam kasus di Amerika Serikat, para pengusaha dan industri
menguasai pengelolaan pendidikan di negeri yang pernah menggempur Iraq itu.
Akibatnya pendidikan di Amerika Serikat kemudian lebih diartikan sebagai tempat
mencetak tenaga kerja.
Namun
sebenarnya, pendidikan bukan saja sebagai alat membentuk sumber daya manusia
yang berdaya saing tinggi, melainkan di harapkan juga ikut menentukan
terjadinya berbagai perubahan sosial. Sebagai catatan sejumlah ahli, bahwa
pendidikan sangat berperan dalam pembentukan kelas profesional atau disebut
dengan kelas menengah. Sebuah lapisan masyarakat yang disebut sebagai sumber utama bagi
terjadinya perubahan, apalagi memasuki masa-mas krisis. Bebagai pandangan
kritis muncul diseputar pengelolaan pendidikan. Memang pendidikan di Indonesia
disamping berhasil menyumbangkan lapisan masyarakat yang tidak juga melek huruf
tetapi juga melek informasi. Pendidikan tidak saja berhasil memberi out put
sejumlah sarjana berstrata satu tapi juga strata dua dan tiga, dalam maupun
luar negeri. Pandangan kritis lain yang muncul terhadap pengelolaan pendidikan
di Indonesia, antara lain juga dialamatkan kepada tingkat investasi yang
ditanam. Investasi dibidang ini jauh lebih rendah dibanding dengan investasi
didalam pembentukan modal fisik. Investasi dibidang pendidikan tersebut
kemudian berdampak pada tertinggalnya tingkat daya saing SDM yang kita miliki.
Kita melihat pada sisi internal dimasa sekarang sekolah haruslah melakukan
upaya membangun sistem kelembagaan yang
efisien. Secara eksternal, sekolah haruslah memperhitungkan reputasi dan
legitimasinya dimata masyarakat dengan asumsi. Jika itu bagus maka sekolah akan
dengan mudah meraih dukungan dari masyarakat. Dukungan masyarakat adalah modal
yang berharga bagi pengembangan dunia pendidikan.
Tuntutan
terhadap lembaga inovasi juga datang karena desakan dari jalur pertumbuhan yang datang dari luar sebagai hasil dari
perubahan. Perlu dicatat bahwa perubahan itu sendiri justru merupakan sumbangan
dari proses pendidikan baik langsung atau tidak langsung baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dengan faktor-faktor lain seperti faktor sosial,ekonomi,
agama maupun politik. Pendidikan memberikan jalan efektif dalam membangun dan
mempercepat perubahan. Sebaliknya arah,isi,tujuan,strategi, juga pemasaran
pendidikan kemudian dipengaruhi oleh perubahan sosial.
Semua
aspek kependidikan dengan demikian tidak bisa semata-mata bertahan dengan
nilai-nilai lama. Meski tidak semua nilai lama harus dihapuskan namun
pendidikan sudah harus selayaknya mempertimbangkan munculnya nilai-nilai baru
menyerapnya dan kemudian mengadaptasikan kedalam proses kependidikan. Salah
satu implikasi dari perubahan itu
kemudian mendorong terjadinya upaya melakukan reformasi menejemen pendidikan.
Para
penentu kebijakan memasuki kata sepakat untuk mengubah manajemen pendidikan
yang sentralistik menjadi desentralistik yang penjabarannya kemudian melahirkan
kebijakan otonomi pendidikan. Sekolah kemudian ditempatkan sebagai pusat pengembangan
pendidikan pengelola pendidikan disekolah menjadi pihak yang menentukan proses
menejemen pendidikan seperti penentuan kurikulum, pembentukan dan penguatan kelembagaan,
pemenuhan sarana prasana, teknik evaluasi, dan pembentukan jaringan kerja sama
dengan masyarakat. Bahkan pengelola pendidikan disekolah yang menentukan misi
pendidikan yang hendak dicapai yang dimasa lalu lebih banyak ditentukan oleh
negara.
Dalam perkembangannya,
banyak lembaga pendidikan yang berusaha
mengerahkan kemampuan kreatif mereka untuk menghimpun berbagai syarat-syarat
pengembangan institusi pendidikan. Pengelola pendidikan kemudian harus
melengkapi syarat kewirausahaan agar mampu menjamin kelangsungan proses belajar
mengajar disekolah yang dikelolanya sesuai dengan jalur pertumbuhan yang
berkembang saat ini.
Aspek lain dalam
manajemen pendidikan yang selama ini belum tergarap secara sistematik adalah
keterlibatan orang tua dalam pendidikan. Parental involvement memiliki
keuntungan dan manfaat yang besar bagi pengelola pendidikan khususnya bagi para
guru, siswa maupun dari orang tua itu sendiri. Namun keterlibatan orang tua
selama ini tidak ditempatkan sebagai bagian dari elemen masyarakat
pembelajaran, melainkan sekedar ditempatkan sebagai pihak donatur dari
penggalian dana sekolah. Seharusnya orang tua ditempatkan sebagai bagian dari
proses pembelajaran secara menyeluruh. Ada bagian –bagian dari proses
pembelajaran yang bisa dilakukan orang tua misalnya dalam perencanaan dan
penetapan program,memberi rujukan tentang strategi pembelajaran yang tepat
sesuai karakter putra putri yang disekolahkannya, termasuk dalam keikutsertaan
memberikan evaluasi terutama dalam rangka memantapkan praktek evaluasi.
0 comments:
Post a Comment