OTONOMI DAERAH
I. PENDAHULUAN
Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap
mekanisme pemerintahan Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa
kepulauan ini, menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang
ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka
diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara
efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah
pusat.
Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya berbagai ancaman
terhadap keutuhan NKRI. Hal itu ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam
daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab
diperlukannya suatu sistem pemerintahan untuk memudahkan pengelolaan sumber
daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa daerah yang
pembangunannya memang harus lebih cepat dari pada daerah lain. Karena itulah
pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat
daerah yang disebut otonomi daerah untuk mengelola potensi-potensi dan
sekaligus mengembangkannya.
Oleh karena itu, pemakalah berusaha untuk mengkaji lebih dalam tentang
Otonomi Daerah dan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
II. PERUMUSAN
MASALAH
A. Apa
pengertian Otonomi Daerah?
B. Apa
tujuan dari Otonomi Daerah tersebut?
C. Bagaimana
Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah?
D. Bagaimana
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia?
E. Apa
permasalahan atau kendala dalam penerapan Otonomi Daerah di Indonesia?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang
berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau
aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat,1985).
Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan
makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan
demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah
mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan daerah maka dapat dikatakan bahwa
daerah sudah berdaya (mampu) untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa
tekanan dan paksaan dari pihak luar dan tentunya disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan daerah.
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1. F. Sugeng Istianto,
mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin,
mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang lain atau
pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud
pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh,
berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu
Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip
Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah
yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas
(kekuasaan atau wewenang) yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan
sumber sumber material yang substansial (sesunggguhnya atau yang inti) tentang
fungsi-fungsi yang berbeda.
Berbagai definisi tentang Otonomi Daerah telah banyak dikemukakan oleh para
pakar. Dan dapat disimpulkan bahwa Otonomi Daerah yaitu kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa (inisiatif) sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom itu sendiri adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[1]
B. Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
1. Tujuan Otonomi Daerah
Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem
Sentralistik tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat
dengan keadaan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita
menganut sistem Desentralisasi atau Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah
kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat
khusus tersendiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan alam, iklim,
flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan
dan lain sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada
daerah untuk melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di
daerah kekuasaannya masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang
dari garis-garis aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada
dasarnya, maksud dan tujuan diadakannya pemerintahan di daerah adalah untuk
mencapai efektivitas pemerintahan.
Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah ini bersifat mandiri
dan bebas. Pemerintah daerah bebas dan mandiri untuk membuat peraturan
bagi wilayahnya. Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara
dan pemerintahan pusat.
Selain tujuan di atas, masih terdapat
beberapa point sebagai tujuan dari otonomi daerah. Dibawah ini adalah beberapa
tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan
sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
a) Dilihat dari segi
politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik
rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak
demokrasi.
b) Dilihat dari segi
pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang
efisien.
c) Dilihat dari segi sosial
budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus
kepada daerah.
d) Dilihar dari segi ekonomi,
otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.[2]
Untuk mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri
sendiri. Para pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang
diembannya merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan dan
dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita semua juga memiliki kewajiban untuk
berpartisipasi dalam rangka tercapainya tujuan otonomi daerah. Untuk mewujudkan
hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin dilakukan
secara instan. Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak
pihak. Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai
pihak untuk mencapai tujuan ini.
2. Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman
dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32
Tahun 2004) :
a) Prinsip Otonomi Daerah menggunakan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
b) Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah
daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap
daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
C. Pembagian Kekuasaan dalam
Kerangka Otonomi Daerah
Pembagian antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara
kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekusaan yang ditangani
pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di negara federal, yaitu
hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama,
serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral
oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makro ekonomi, standarisasi nasional,
administrasi pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan pengembangan
sumber daya manusia.
Selain sebagai daerah otonom, provinsi juga merupakan daerah administratif,
maka kewenangan yang ditangani provinsi atau gubernur akan mencakup kewenangan
desentralisi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom
provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup[3]:
1. Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota,
seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan
perkebunan.
2. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu
perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang
alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah
provinsi dan perencanaan tata ruang provinsi.
3. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan
administratif, penegakan hukum dan bantuan penegakan keamanan, dan kedaulatan
negara.
4. Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani
daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan
dari daerah otonom kabuapaten atau kota tersebut.
D. Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut.
Termasuk diharapkannya penerapan otonomi daerah karena kehidupan berbangsa dan
bernegara selama ini sangat terpusat di jakarta. Sementara itu pembangunan di
beberapa wilayah lain dilalaikan. Disamping itu pembagian kekayaan secara tidak
adil dan merata di setiap daerahnya. Daerah-daerah yang memiliki sumber
kekayaan alam yang melimpah, seperti:Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan
dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah
pusat serta kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat
mencolok.[4]
Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah
impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan
daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku
pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk
memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran
serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan
dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan,
daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan
yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis
bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi
daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah,
masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan
setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan
yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk
memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan
milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat
nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang
simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol
mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat
membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat
terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber
daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga
dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah tersebut.[5]
E. Permasalahan atau Kendala
dalam Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia.
Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang
dituju dalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya
Otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1
Januari 2010, memang masih
ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi. Dari sekian kendala terdapat
permasalahan yang mengandung potensi instabilitas yang dapat mengarah kepada
melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapat memicu terjadinya
disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :
1. Pembagian Urusan
Contoh permasalahan yaitu dalam pembuatan
kebijakan pusat untuk daerah (FTZ). Permasalahan yang paling sering dialami
oleh daerah adalah banyaknya aturan yang saling tumpang tindih antara pusat dan
daerah. Akibatnya banyak aturan pusat yang akhirnya tidak bisa
diterapkan di daerah. Salah satu sebab itu karena pusat tidak memahami keadaan
yang sedang dialami daerah tersebut. Kondisi inilah yang diduga menjadi kendala
utama belum maksimalnya pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kepri ini. Daerah
selalu menunggu aturan dari pusat atau kebijakan dari pusat sehingga setelah
ditunggu ternyata hasilnya selalu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Seharusnya hal tersebut dapat diatasi apabila pembagian urusan antara daerah
dan pusat tidak tumpang tindih. Artinya, dalam pengusulan suatu konsep aturan
daerah harus terlibat langsung. Atau dengan kata lain sebelum pemerintah pusat
membuat aturan, daerah memiliki tugas seperti mengajukan konsep awal yang tidak
bertentangan dengan aturan yang ada di daerah. Sehingga pemerintah pusat dalam
menyusun aturan, memiliki landasan yang kuat mengacu pada konsep daerah.
2. Pelayanan Masyarakat
Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada
pemerintah daerah memiliki sumber informasi dan pengetahuan yang lebih
terbatas dibandingkan dengan sumber daya pada Pemerintah Pusat. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang masih tersentralisasi sehingga
Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola
Sumber Daya Manusianya sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang
dibutuhkan oleh suatu daerah. Sehingga pelayanan yang diberikan hanya standar
minimum.
3. Lemahnya Koordinasi Antar Sektor dan
Daerah
Koordinasi antarsektor tidak hanya
menyangkut kesepakatan dalam suatu kerjasama yang bersifat operasional tetapi
juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Dua hal ini memang tidak serta merta
menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yang memproduksi
peraturan dan kebijakan tetapi secara normatif koordinasi dalam
penyusunan peraturan perundangan akan menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang sistematisdan tidak bertubrukan satu sama lain.
Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif
Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif
Daerah tetap merupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan
Pemerintah Daerah atau Kepala Daerah. Masalah seperti ini pun
sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri yang lebih kuat, lebih tinggi
dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas. Ada tiga
hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutif dalam
menyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola
pikir yang harus sama adalah kita sadar terhadap apa yang harus kita
pertahankan dan kita upayakan, yaitu integritas dan identitas bangsa serta
berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuan bangsa. Pola sikap
yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dan kontribusi
seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi dan
terkomunikasikan.
4. Pembagian Pendapatan
UU 25/1999 pada dasarnya menganut
paradigma baru, yaitu berbeda dengan paradigma lama, maka seharusnya setiap
kewenangan diikuti dengan pembiayaannya, sesuai dengan bunyi pasal 8 UU 22/1999. Pada saat
sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh tentang tidak proporsionalnya jumlah
Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun Daerah
Kabupaten/Kota. Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji
pegawai daerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah.
Disamping itu, kriteria penentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh
banyak daerah kurang transparan. Kriteria potensi daerah dan
kebutuhan daerah tampaknya kurang representatif secara langsung terhadap
pembiayaan daerah. Dengan demikian perhitungan DAU yang transparan sebagaimana
diatur dalam pasal 7 UU 25/1999 jo PP 104/2000 tentang perimbangan
keuangan terutama pasal-pasal yang menyangkut perhitungan DAU dan faktor
penyeimbangan, kiranya perlu ditata kembali. Kemudian, pembagian bagi
hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang mengikuti prinsip-prinsip
pembiayaan yang layak yang sejalan dengan pemberian kewenangan Kepala Daerah
Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti halnya dalam paradigma lama,
melalui paradigma baru pun bagian daerah selalu jauh dari Sumber Daya Alam
yang kurang potensial (seperti: perkebunan, kehutanan, pertambangan umum
dan sebagainya), sedangkan disektor minyak dan gas alam, hanya mendapat
porsi kecil. Bagian bagi hasil di bidang ini perlu diperbesar, sehingga daerah
penghasil mendapat bagian yang proporsional sebanding dengan kerusakan
lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.
5. Anatisme Daerah (Ego Kedaerahan)
Sifat seperti ini sangat tidak baik jika
ada disuatu wilayah/daerah atau dimanapun, karena hal ini dapat menimbulkan
kesenjangan atau kecemburuan terhadap daerah-daerahlain. Contoh pemasalahannya kejadian yang terjadi di daerah
kabupaten Anambas dalam penerimaan CPNS. Bagi pelamar CPNS minimal
mempunyai 1 ijazah yang dikeluarkan oleh disdik kabupaten. Anambas baik SD,
SMP, dan SMA. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terlalu egoisnya suatu daerah
yang mengutamakan putra daerah untuk dapat menjadi CPNS dalam mengembangkan
daerahnya sendiri sehinnga untuk warga daerah lain tidak diberikan peluang
untuk menjadi CPNS dan hal ini juga dapat menimbulkan kerugian bagi warga Anambas
karena dapat mengurangi pendapatan mereka ( yang berjualan atau yang membuka
tempat-tempat kos) Solusinya sebaiknya dalam hal ini daerah Anambas tidak
terlalu egois dalam penerimaan CPNS ini. Sehingga warga lain yang bukan
berasal dari Anambas dapat bekerja dan dan bersaing demi memajukan daerah
tersebut dan membuka peluang bagi siapapun yang memiliki kemampuan dan skiil
serta pengetahuan mereka dalam berkopetensi untuk bersaing demi kebaikan dan
memajukan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatan untuk
penghasilan bagi warga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang dan yang
memiliki rumah-rumah kos. Jika dibandingkan dengan adanya fanatisme.
6. Disintegrasi
Hal ini dapat menimbulkan perpecahan
atau terganggunya stabilitas keamanan nasional dalam penyelenggaraan sebuah
negara. Hal ini dapat disebabkan olek keegoisan suatu kelompok masyarakat atau
daerah dalam mempertahankan suatu pendapat yang memiliki unsur
kepentingan-kepentingan kelompok satu dengan yang lain. Yang dapat merugikan
atau kecemburuan terhadap kelompok-kelompok yang lain untuk mendapatkan hak
yang sama sehingga dapat memecahkan rasa persatuan dan kesatuan kita dan dapat
menimbulkan berbagai pertikaian dalam sebuah negara atau daerah tersebut.
Contohnya: GAM, RMS, dan lain-lain. Solusinya sebaiknya kita sebagai warga
negara yang baik harusnya tidak egois dalam mempertahankan suatu hak atau
pendapat antara kelompok yang satu dengan yang lain dapat menimbulkan
pertikaian dan mengganggu keamanan didaerah tersebut. Namun kita harus bersatu
demi memajukan daerah atau negara yang kita cintai.
IV. KESIMPULAN
Otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggungjawab dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal itu bertujuan untuk mencegah
pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi
masyarakat. Sehingga di Indonesia sudah mulai diterapkan Otonomi Daerah
V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai Otonomi Daerah sedikit
banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami menyadari sebagai manusia
biasa memang tidak bisa luput
dari kesalahan tidak terkecuali dengan makalah yang kami buat. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah
yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat
untuk kita semua. Amiiin.
DAFTAR PUSTAKA
Priyanto, Sugeng. Pendidikan
Kewarganegaraan. Semarang:Aneka Ilmu. 2008.
Srijanti, dkk. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta: Graha Ilmu. 2009.
Ubaidillah, dkk. Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:ICCE UIN Syarif
Hidayatullah. 2007.
Ubaidillah, dkk. Pancasila,
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah.2012.
http://raja1987.blogspot.com/2009/12/pelaksanaan
-otonomi-daerah.html diambil pada tanggal 18 Mei 2013
pukul 10.57.
[3] A. Ubaidillah
dan abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal 183-184
[4] A. Ubaidillah
dkk, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2007, hal 171
0 comments:
Post a Comment