This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, March 27, 2019

Makalah Filsafat Pendidikan


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Filsafat, selain memiliki lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berpaling perhatiannya pada sains, maka akan lahir filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir filsafat hukum. Dan, apabila filsafat berhadapan dan memikirkan pendidikan, maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Pendidikan dipandang sebagai obat penawar semua problematika yang ada dimasyarakat, bahkan ditingkat individu. Seorang individu atau sekelompok masyarakat bisa dikatakan minim terdapat sebuah problem, jika setiap lapisan yang ada memahami betapa pentingnya pendidikan.
Bisa dipahami dari paparan di atas, bahwasannya antara individu atau keluarga, masyarakat dan lembaga sekolah, mempunyai korelasi yang saling berkaitan. Karena membahas pendidikan tentu tidak akan lepas dari ketiga hal di atas. Maka dari itu, disini nantinya akan membahas mengenai bagaimana peran pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan sekolah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran pendidikan keluarga sebagai sumber pencerdasan spiritual ?
2.      Bagaimana peran lembaga pendidikan sekolah sebagai sumber pencerdasan intelektual ?
3.      Bagaimana peran pendidikan masyarakat sebagai sumber pencerdasan emosional ?



BAB II
Pembahasan


A.    Pendidikan Keluarga sebagai Pencerdasan Spiritual
Kecerdasan berasal dari kata “cerdas” yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir dan mengerti). Kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa mahluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia.[1]
Sedangkan spiritual secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi, spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter.[2] Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan. Spiritual berarti pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter seseorang.
            Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah-ibu, akan berakhir apabila sang anak menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.[3]
Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari (ayah dan ibu) dan anak-anak yang belum kawin (children). Jadi, keluarga sebagai lembaga pendidikan hanya terdiri dari orang tua (ayah, ibu) yang akan bertindak sebagai pendidik, dan anak-anak yang belum berkeluarga sebagai peserta didik.[4]
Tingkah laku anak pada waktu lahir kedunia belum bersifat manusiawi sesungguhnya. Tingkah laku anak akan bersifat manusiawi hanya dengan melalui interaksi sosial. Keluarga merupakan suatu lembaga sosial dimana si anak mengadakan proses sosialisasi yang pertama dalam kehidupannya. Dalam tahun-tahun pertama pada umumnya dalam keluargalah proses humanisasi berlangsung. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama bagi anak untuk mengadakan interaksi sosial.[5]
Bagi keluarga muslim anak merupakan suatu rahmat karunia dari Allah yang wajib disyukuri, tetapi dibalik itu anak merupakan amanah dari Allah kepada orang tua supaya diasuh, dipelihara, dididik dengan sebaiknya, itu sebabnya maka kewajiban orang tua terhadap anaknya tidak cukup memenuhi kebutuhan lahiriyah saja tetapi orang tua juga wajib memenuhi kebutuhan rohaniah anak. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat 06:
يأيّهاالّذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودهاالنّاس والحجارة عليها ملئِكة غلاظ شِداد لايعصون الله ما أمرهم ويفعلون مايؤمرون
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman perihalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menurut penafsiran Sayyid Sabiq, ayat tersebut mengandung arti sebagai berikut “menjaga diri dan keluarga dari siksaan neraka adalah dengan cara memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak serta menumbuhkembangkan dan membiasakan mereka pada akhlak yang baik, menunjukkan mereka ke arah hal-hal yang bermanfaat dan yang membahagiakan mereka kelak”.[6]
Selain itu anak-anak seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah memiliki fitrah dasar (tauhid). Secara fitrah, anak-anak dibekali potensi oleh Allah, dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba dan sekaligus khalifah-Nya di bumi. Kesadaran tentang hal ini, akan mendorong para orang tua untuk melakukan pembelajaran pada anak-anak bahkan ketika mereka masih dalam rahim.
Bahkan menurut pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya arti agama dalam kehidupannya.[7]
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan utama (primary community) dan sebagai lembaga sosial resmi. Pengetahuan bagi orang tua paling tidak meliputi dua hal, yaitu wawasan filosofis berisi pengetahuan tentang kesadaran moral (nilai moralitas), dan kecakapan hidup berisi tentang penanaman perilaku mandiri. Sumber-sumber pendidikan moral di dalam keluarga bisa digali dari adat-istiadat, peradaban, kebudayaan dan ajaran agama yang benar dan cocok. Dari sumber-sumber tersebut dapat diperoleh unsur-unsur nilai moral yang mengakar pada dunia spiritual.[8]

B.     Pendidikan Sekolah sebagai Pencerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar.[9]
Usaha pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah ada di dalam kehidupan, atau dengan kata lain, sekolah harus memiliki kehidupan masyarakat sekelilingnya. Sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya.[10]
Menurut KI Hajar Dewantara lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal, didirikan berdasarkan undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan pendidikan. Dilihat dari posisinya di antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi ini mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar (transmissionn) nilai-nilai kultural yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam aspek hidup dan kehidupan. Pendidikan sekolah mengolah benih nilai moral-spiritual menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional empirikal. Untuk membangun sumber daya yang cerdas intelektual, yaitu ahli dalam bidangnya, cakap, terampil, kreatif dan jujur dalam bersikap atau berperilaku. Setidaknya telah dipersiapkan sistem pembelajaran, yaitu materi pembelajaran dan pengelolaannya.[11]
Tujuan utama dari sistem kegiatan pendidikan yang berlangsung di dalam institusi persekolahan adalah mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran, menjadi cerdas. Secara terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan metodis, sistematis, intensif, efektif dan efisien menurut ruang dan waktu yang telah ditentukan.
Tetapi, pendidikan sekolah tidak bersifat kodrati, karena dibangun dan dikelola bukan karena ada hubungan darah antara pendidik dan peserta didik. Lembaga pendidikan sekolah dikelola menurut sistem hubungan formal-institusional, yang dikelola menurut prinsip-prinsip manajemen, maksudnya, dibangun dan dikelola menurut tujuan, kebijakan, perencanaan, dan program-program tertentu.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak tidak memungkinkan akan dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan perkembangan pribadi anak, berisikan nilai, norma dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentu yang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.[12]


C.    Lembaga Pendidikan Masyarakat
Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang dan mencerca sesuatu.[13]
            Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[14] Oleh karena itu, secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai sesuatu pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu, emosi dapat juga dikatakan sebagai alat yang merupakan wujud dari perasaan yang kuat.[15]
            Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan di sekolah diperlukan karena keluarga sudah tidak mampu memberikan pengetahuan dan kemampuan-kemampuan kepada anak sesuai dengan tuntutan pada masa modern ini. Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.[16]
            Kebutuhan terhadap pendidikan di masyarakat beraneka ragam corak dan bentuknya. Menurut Philip H. Coombs, bentuk pendidikan di masyarakat berlangsung mulai dari penitipan bayi dan penitipan anak sebelum sekolah,pemberantasan buta huruf, kepramukaan, kelompok pemuda tani, perkumpulan olahraga dan rekreasi, kursus-kursus keterampilan di bidang pertanian dan pertukangan serta yang di luar struktur pendidikan sekolah.[17]
            Pendidikan masyarakat dinilai sebagai pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Jadi setiap bidang kegiatan hidup masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan dan pembelajaran. Implementasi pemanfaatan sumber daya manusia seperti itu terwujud sikap dan perilaku objektif, kreatif dan produktif menurut nilai kebenaran, sebagai upaya memajukan kehidupan masyarakat. Posisi dan fungsi pendidikan masyarakat dinilai begitu strategis dalam menggerakkan seluruh potensi sosial agar bisa mencapai tujuan kehidupan masyarakat serta mendorong agar arti penting dan perlunya dibangun kembali konsep dasar.



BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
·         Spiritual secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi, spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter. Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan. Spiritual berarti pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter seseorang.
·         Menurut pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya arti agama dalam kehidupannya.
·         Kecerdasan intelektual adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar.
·         Menurut KI Hajar Dewantara lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal, didirikan berdasarkan undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan pendidikan. Posisi ini mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar (transmissionn) nilai-nilai kultural yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam aspek hidup dan kehidupan. Pendidikan sekolah mengolah benih nilai moral-spiritual menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional empirikal. Untuk membangun sumber daya yang cerdas intelektual.
·         Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang dan mencerca sesuatu.
·         Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.


Daftar Pustaka
Saleh Mujib, Abdul Rahman dan Wahab, Abdul, Psikologi Suatu Pengantar          dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfa Beta, 2005)
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011)
Suprayoga, Imam. Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press,        2006)
Wikipedia.org diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 03.14
Effendi, E. Usman dan Praja, Juhana S., Pengantar Psikologi, (Bandung:   Angkasa, 1993)
Sujiono .Bambang, dan Nurani Sujiono, Juliani., Mencerdaskan Perilaku Anak       Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini,    (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005)



[1] Abdul Rahman Saleh Muhib dan Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 179 
[2] Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfa Betaa, 2005), hlm. 206 
[3] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011) Hlm. 55
[4] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 63
[5] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 63
[6] Imam Suprayoga, Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2006), Hlm. 156
[7] Imam Suprayoga, Quo Vadis Pendidikan Islam,... Hlm. 176
[9] Wikipedia.org diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 03.14
[10] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 64
[12] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 64
[13] E. Usman Effendi dan Juhana S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993), Hlm. 79
[14] Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini
Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2005), Hlm. 120
[15] Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini
Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini,... Hlm. 90
[16] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 65
[17] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 65

Makalah Fiqh Lughah


BAB I
PENDAHULUAN

I.I        Latar Belakang
            Banyak kabilah dalam bangsa Arab menjadikan banyaknya dialek pula. Perbedaan penutur antar kabilah ini menjadikan bahasa yang mereka gunakan bervariasi. Dialek-dialek ini sudah ada sebelum lahirnya agama islam. Tetapi dialek-dialek ini sudah tidak digunakan di zaman sekarang. Dan hanya satu dialek saja yang digunakan hingga sekarang. Yaitu dialek fusha. Dialek fusha ini berasal dari kabilah Quraisy atau disebut juga dengan dialek bani Quraisy. Dalam sejarah perkembangan dialek sebelum islam terjadi suatu persaingan antar kabilah. Dan kabilah yang lebih unggul adalah kabilah Quraisy. Karena itulah dialek Quraisy ini dijadikan sebagai dialek pemersatu antar satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dialek ini digunakan dalam berbagai urusan seperti ekonomi, politik, dan keagamaan. Pengaruh dialek Quraisy sebagai bahasa pemersatu sangat besar. Mulai dari letak geografis yang mendukung dan pusat keagamaan. Sehingga menjadikannya sebagai penghubung dalam berinteraksi sosial antar kabilah dalam berbagai urusan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana cara kabilah quraisy dalam menjadikan bahasa Arab fusha sebagai dialek yang diakui oleh setiap penjuru Jazirah. Dan pastinya ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa dialek fusha mampu bertahan sampai sekarang. Untuk itu, perlu adanya kajian yang mengkaji bahasa Arab Fusha mengingat kita sebagai mahasiswa bidang bahasa Arab.


I.II Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dialek ?
2. Bagaimana dialek-dialek sebelum islam ?
3. Bagaimana dialek Quraisy ?
4. Bagaimana peran dialek dalam perkembangan bahasa arab ?


BAB II
PEMBAHASAN

II.I        Pengertian Dialek
            Dialek atau dalam bahasa Arab disebut dengan lahjah adalah kumpulan dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan tersebut.[1] Dialek merupakan variasi dari bahasa dan bukan merupakan ragam dari suatu bahasa. Karna dialek termasuk bagian khusus dari suatu bahasa, oleh karena itu dialek masih bagian dari cakupan bahasa dan bukan bahasa tersendiri.
            Sebagian Ahli berpendapat bahwa dialek atau lahjah itu tidak ada. Dengan artian tidak ada batasan yang terperinci dan jelas antara dialek satu dengan dialek lainnya atau antara dialek dengan bahasa yang umum digunakan yang berhubungan dengan dialek tersebut. Salah satu tokohnya antara lain adalah Jastoon B. Sebagian ahli yang lain mengakui akan kemungkinan pembagian dialek bahasa. Dan salah satu ahli yang menerima adalah Anthoni Meillet. Dia mengatakan bahwa: “sesunguhnya kita berbicara mengandung unsur dialek. Seperti yang kita lihat pada bilangan dari tulisan. Dialek memiliki kekhususan yang terpisah dari bahasa. Keduanya berlaku meskipun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Maka dari itu, dialek menggambarkan suatu daerah tertentu yang terlihat dari kekhususan bahasa yang berlaku.”[2] Dari pendapat Anthoni tersebut dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh penutur pada suatu daerah tertentu yang menggambarkan suatu kekhususan setiap dialek. Adapun hubungan antara bahasa dan dialek merupakan hubungan yang khusus dengan umum. Dalam artian lingkungan dialek bagian dari lingkungan yang lebih luas atau lebih menyeluruh cakupannya. Dalam lingkungan yang lebih luas tersebut terdapat gabungan dari beberapa dialek. Setiap dialek memiliki ciri khusus dan sebagai penyokong bahasa.

II.II       Dialek – Dialek Bahasa Arab Sebelum Islam
            Dialek Arab sebelum islam sangat banyak sekali. Seperti dialek Quraisy, Tamim, Huzail, Asad, Hawazin, Saad, Thai, dan lain-lain. Tetapi Ulama-ulama ahli bahasa hanya membahas dialek orang baduwi (fusha) pada abad ke 1 dan 2 hijriyah.          Sedangkan yang berada di perbatasan Yaman, Syam, dan Irak tidak disebutkan dalam kajian mereka. Sehingga dialek ini dihubungkan pada dialek-dialek besar seperti Quraisy, Tamim, Huzail, dan Thai. Dan ada juga yang dihubungkan pada dialek-dialek kepada kabila tertentu seperti kabilah Qudaah, Asad, Rabiah, Kalb, al-Anshor, dan lain-lain. Dialek-dialek bahasa Arab dibedakan menjadi beberapa bagian sesuai variasinya mulai dari Morfologi, Fonologi, dan Sintaksis.
            Sebagian besar pengkaji berpendapat bahwa dialek Quraisy-lah yang merupakan dialek paling fasih, dan dialek ini meliputi semenanjung Arab sebelum datangnya Islam. Ibnu Faris berkata: “ ulama kita sepakat mengenai ucapan orang Arab, ungkapan syiir-syiir, pakar balaghah, dan bahasa keseharian, bahwa suku Quraisy-lah yang paling fasih lidahnya dalam bangsa Arab dan paling mulia bahasanya. Hal ini diketahui bahwa Allah Azza wa Jalla telah memujinya dan memilih mereka dari seluruh kabilah bangsa Arab kemudian menjadikan mereka sebagai bangsa pilihan, serta dijadikannya Nabi yang membawa rahmat yakni nabi Muhammad SAW bagian dari kabilah Quraisy.[3]
            Sedangkan Ibnu Jinni mengatakan bahwa kabilah Quraisy merupakan kabilah yang terfashih dari pada dialek Ananah ( عنعنة ) dari bani Tamim, dialek Kasykasyah  ( كشكشة) dari bani Rabiah, dialek kaskasah ( كسكسة ) dari bani Hawazan, dialek Ujrofiyah ( عجرفية ) dari bani Dhabbah, dialek Tadhja ( تضجع ) dari bani Qais, dialek Tiltilah ( تلتلة ) dari bani Baharra.[4]

II.III      Dialek Quraisy
            Quraisy adalah sebuah nama kabilah pada zaman jahiliyyah. Mereka tinggal di daerah Arab sekitar kota Makkah. Kabilah ini bermata pencaharian dengan berdagang. Di dukung dengan letak tempat tinggal yang strategis antara jalur perdagangan yaman dan Syam. Selain itu kedudukan suku quraisy adalah yang terfasih lisannya dan terjernih bahasanya. Karena itulah nabi Muhammad SAW dijadikan oleh Allah terlahir sebagai bagian dari kabilah ini. Dan termasuk salah satu kemulyaan yang diberikan Allah kepada suku ini adalah sebagai penduduk sekaligus tuan rumah tanah haram, juga sebagai keturunan dari nabi Ismail AS. Adapun dialek Arab itu sangat banyak. Ulama-ulama ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa Arab Fusha itu adalah bahasa baduwi (bahasa Arab pedalaman). Pada mulanya bahasa Arab digunakan dengan adanya interaksi di berbagai bidang mulai dari perdagangan, bertukar pendapat, tempat tinggal yang berdekatan antar kabilah, menunaikan haji, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa masing-masing kabilah memiliki dialek-dialek khusus yang dimiliki sebagai pembeda, maka seiring berjalannya waktu terjadi persaingan antara dialek satu dengan dialek yang lain. Kemudian kabilah yang mampu memenangkan dialek mereka dalam berinteraksi sosial dan sastra adalah kabilah Quraisy atau disebut dengan bahasa Arab fusha. Kabilah ini juga mengarang sebuah syair, khitobah (pidato), dan natsar sebagai bentuk sastra Quraisy.
            Tidak diragukan lagi akan kecintaan mereka terhadap sastra. Seperti banyaknya penyair dengan syair yang sering mereka lantunkan menjadi kelebihan tersendiri dalam sastra lahjah Quraisy. Syair merupakan kegemaran bagi kabilah Quraisy. Mereka menyukai keindahan sastra dan sering mengagungkan penyair. Ini pun menjadikan kita ingat akan kisah masuk islamnya kholifah Umar bin Khattab. Beliau menangis dan terharu ketika mendengar bacaan al-Quran.
            Bahasa Arab yang masih dipakai sampai sekarang merupakan percampuran dari berbagai macam dialek, sebagian dari selatan jazirah Arab dan ini merupakan mayoritasnya. Sedangkan yang lainnya dari utara. Keduanya bersatu hingga terciptalah sebuah bahasa Arab Fusha yang saat ini dipakai dalam tulisan, khutbah, siaran, majalah, dan surat kabar.[5] Ciri-ciri bahasa Arab Fusha :
1. Derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan dialek-dialek yang berlaku dalam bahasa sehari-hari. Termasuk orang-orang yang mampu menguasai bahasa ini juga dinilai mempunyai kedudukan yang tinggi.
2. Bahasa Arab pada umumnya ( ‘Ammiyah ) tidak memiliki karasteristik sifat kedaerahan atau kaitannya dengan kabilah tertentu.


II.IV     Peran Dialek Quraisy Terhadap Perkembangan Bahasa Arab
            Dapat disimpulkan dari keterangan diatas bahwa dialek Quraisy merupakan dialek yang paling unggul diantara dialek-dialek yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor[6] :
1. Pusat keagamaan antar kabilah. Suku Quraisy bertempat tinggal diMakkah yang terdapat kabah sebagai tempat peribadatan.
2. Letak Geografis yang strategis untuk jalur perdagangan. Kedudukan kota Makkah sebagai jalur perdagangan antara Yaman dan Syam.
3. Pengaruh politik, menjadi suatu kenyataan bahwa keutamaan pengaruh agama dan ekonomi serta keutamaan kedudukan negaranya bisa menjadi suatu politik yang cukup kuat dibanding negara-negara lain pada masa jahiliyyah.
4. Dialek Quraisy merupakan dialek Arab yang terluas yang menjadi suatu kekayaan, tertinggi dari segi uslub, serta menjadi dialek yang digunakan untuk seni kata yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh keutamaan yang telah ditentukan bagi para penuturnya. Baik dari segi budaya maupun kesan khusus yang dimiliki oleh dialek Quraisy.
            Karena faktor-faktor tersebut, dialek Quraisy (fusha) diterima dikalangan masyarakat luas. Yang sampai saat inipun masih digunakan sebagai bahasa yang kita pelajari. Disamping bahasa fusha sebagai bahasa Al-Quran, juga sebagai bahasa yang digunakan untuk memperdalam ilmu agama. Seiring berkembangnya suku Quraisy dalam berbagai bidang menjadikan bahasa Arab fusha sebagai bahasa pergaulan di wilayah Jazirah Arab. Selain itu, juga karena masuknya agama islam yang membawa kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman bagi seluruh ummat. Kemudian dialek ini banyak dipelajari oleh berbagai penjuru non Jazirah Arab.

























BAB III
PENUTUP

III.I       Kesimpulan
            Dialek atau dalam bahasa Arab disebut dengan lahjah adalah kumpulan dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan tersebut. Quraisy adalah sebuah nama kabilah pada zaman jahiliyyah. Dialek Arab sebelum islam sangat banyak sekali. Seperti dialek Quraisy, Tamim, Huzail, dan Thai. Tetapi Ulama-ulama ahli bahasa hanya membahas dialek orang baduwi (fusha) pada abad ke 1 dan 2 hijriyah.          
            Selain itu kedudukan suku quraisy adalah yang terfasih lisannya dan terjernih bahasanya. Pada mulanya bahasa Arab dugunakan dengan adanya interaksi diberbagai bidang mulai dari perdagangan, bertukar pendapat, tempat tinggal yang berdekatan antar kabilah, menunaikan haji, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa masing-masing kabilah memiliki dialek-dialek khusus yang dimiliki sebagai pembeda, maka seiring berjalannya waktu terjadi persaingan antara dialek satu dengan dialek yang lain. Kemudian kabilah yang mampu memenangkan dialek mereka dalam berinteraksi sosial dan sastra adalah kabilah Quraisy atau disebut dengan bahasa Arab fusha.
            Dialek Quraisy memiliki keutamaan diantaranya sebagai pusat keagamaan, wilayahnya menjadi letak yang digunakan oleh jalur perdagangan antara Syam dan Yaman, segi politik yang cukup kuat, dan dialek yang kaya akan uslub. Kemudian islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan kitab suci Al-Quran sebagai pedoman. Masuknya islam juga mampu mempengaruhi perkembangan dialek ini, disebabkan karena Al-Quran memakai bahasa Arab fusha. Oleh karena itu dialek fusha masih dipakai sampai sekarang.



Daftar Pustaka
Abd al-Tawwab, Ramadhan. 1999. Fushul fi al-Arobiyah. Kairo, Maktabah al-Chonji. Abd al-Wahid al-Wafi, Ali. 1962. Fiqh al-Lughoh. Kairo, Lajnah al-Bayan al-Araby. Yakub, Emil Badi. 1982. Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah.


[1] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 72
[2] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 71
[3] Emil Badi Yakub, Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. (Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah. 1982) Hal: 122
[4] Emil Badi Yakub, Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. (Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah. 1982) Hal: 122-123
[5] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 77
[6] Ali Abd al-Wahid al-Wafi, Fiqh al-Lughoh. (Kairo, Lajnah al-Bayan al-Araby, 1962). Hal: 87-88