Wednesday, March 27, 2019

Makalah Fiqh Lughah


BAB I
PENDAHULUAN

I.I        Latar Belakang
            Banyak kabilah dalam bangsa Arab menjadikan banyaknya dialek pula. Perbedaan penutur antar kabilah ini menjadikan bahasa yang mereka gunakan bervariasi. Dialek-dialek ini sudah ada sebelum lahirnya agama islam. Tetapi dialek-dialek ini sudah tidak digunakan di zaman sekarang. Dan hanya satu dialek saja yang digunakan hingga sekarang. Yaitu dialek fusha. Dialek fusha ini berasal dari kabilah Quraisy atau disebut juga dengan dialek bani Quraisy. Dalam sejarah perkembangan dialek sebelum islam terjadi suatu persaingan antar kabilah. Dan kabilah yang lebih unggul adalah kabilah Quraisy. Karena itulah dialek Quraisy ini dijadikan sebagai dialek pemersatu antar satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dialek ini digunakan dalam berbagai urusan seperti ekonomi, politik, dan keagamaan. Pengaruh dialek Quraisy sebagai bahasa pemersatu sangat besar. Mulai dari letak geografis yang mendukung dan pusat keagamaan. Sehingga menjadikannya sebagai penghubung dalam berinteraksi sosial antar kabilah dalam berbagai urusan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana cara kabilah quraisy dalam menjadikan bahasa Arab fusha sebagai dialek yang diakui oleh setiap penjuru Jazirah. Dan pastinya ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa dialek fusha mampu bertahan sampai sekarang. Untuk itu, perlu adanya kajian yang mengkaji bahasa Arab Fusha mengingat kita sebagai mahasiswa bidang bahasa Arab.


I.II Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dialek ?
2. Bagaimana dialek-dialek sebelum islam ?
3. Bagaimana dialek Quraisy ?
4. Bagaimana peran dialek dalam perkembangan bahasa arab ?


BAB II
PEMBAHASAN

II.I        Pengertian Dialek
            Dialek atau dalam bahasa Arab disebut dengan lahjah adalah kumpulan dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan tersebut.[1] Dialek merupakan variasi dari bahasa dan bukan merupakan ragam dari suatu bahasa. Karna dialek termasuk bagian khusus dari suatu bahasa, oleh karena itu dialek masih bagian dari cakupan bahasa dan bukan bahasa tersendiri.
            Sebagian Ahli berpendapat bahwa dialek atau lahjah itu tidak ada. Dengan artian tidak ada batasan yang terperinci dan jelas antara dialek satu dengan dialek lainnya atau antara dialek dengan bahasa yang umum digunakan yang berhubungan dengan dialek tersebut. Salah satu tokohnya antara lain adalah Jastoon B. Sebagian ahli yang lain mengakui akan kemungkinan pembagian dialek bahasa. Dan salah satu ahli yang menerima adalah Anthoni Meillet. Dia mengatakan bahwa: “sesunguhnya kita berbicara mengandung unsur dialek. Seperti yang kita lihat pada bilangan dari tulisan. Dialek memiliki kekhususan yang terpisah dari bahasa. Keduanya berlaku meskipun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Maka dari itu, dialek menggambarkan suatu daerah tertentu yang terlihat dari kekhususan bahasa yang berlaku.”[2] Dari pendapat Anthoni tersebut dapat disimpulkan bahwa dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh penutur pada suatu daerah tertentu yang menggambarkan suatu kekhususan setiap dialek. Adapun hubungan antara bahasa dan dialek merupakan hubungan yang khusus dengan umum. Dalam artian lingkungan dialek bagian dari lingkungan yang lebih luas atau lebih menyeluruh cakupannya. Dalam lingkungan yang lebih luas tersebut terdapat gabungan dari beberapa dialek. Setiap dialek memiliki ciri khusus dan sebagai penyokong bahasa.

II.II       Dialek – Dialek Bahasa Arab Sebelum Islam
            Dialek Arab sebelum islam sangat banyak sekali. Seperti dialek Quraisy, Tamim, Huzail, Asad, Hawazin, Saad, Thai, dan lain-lain. Tetapi Ulama-ulama ahli bahasa hanya membahas dialek orang baduwi (fusha) pada abad ke 1 dan 2 hijriyah.          Sedangkan yang berada di perbatasan Yaman, Syam, dan Irak tidak disebutkan dalam kajian mereka. Sehingga dialek ini dihubungkan pada dialek-dialek besar seperti Quraisy, Tamim, Huzail, dan Thai. Dan ada juga yang dihubungkan pada dialek-dialek kepada kabila tertentu seperti kabilah Qudaah, Asad, Rabiah, Kalb, al-Anshor, dan lain-lain. Dialek-dialek bahasa Arab dibedakan menjadi beberapa bagian sesuai variasinya mulai dari Morfologi, Fonologi, dan Sintaksis.
            Sebagian besar pengkaji berpendapat bahwa dialek Quraisy-lah yang merupakan dialek paling fasih, dan dialek ini meliputi semenanjung Arab sebelum datangnya Islam. Ibnu Faris berkata: “ ulama kita sepakat mengenai ucapan orang Arab, ungkapan syiir-syiir, pakar balaghah, dan bahasa keseharian, bahwa suku Quraisy-lah yang paling fasih lidahnya dalam bangsa Arab dan paling mulia bahasanya. Hal ini diketahui bahwa Allah Azza wa Jalla telah memujinya dan memilih mereka dari seluruh kabilah bangsa Arab kemudian menjadikan mereka sebagai bangsa pilihan, serta dijadikannya Nabi yang membawa rahmat yakni nabi Muhammad SAW bagian dari kabilah Quraisy.[3]
            Sedangkan Ibnu Jinni mengatakan bahwa kabilah Quraisy merupakan kabilah yang terfashih dari pada dialek Ananah ( عنعنة ) dari bani Tamim, dialek Kasykasyah  ( كشكشة) dari bani Rabiah, dialek kaskasah ( كسكسة ) dari bani Hawazan, dialek Ujrofiyah ( عجرفية ) dari bani Dhabbah, dialek Tadhja ( تضجع ) dari bani Qais, dialek Tiltilah ( تلتلة ) dari bani Baharra.[4]

II.III      Dialek Quraisy
            Quraisy adalah sebuah nama kabilah pada zaman jahiliyyah. Mereka tinggal di daerah Arab sekitar kota Makkah. Kabilah ini bermata pencaharian dengan berdagang. Di dukung dengan letak tempat tinggal yang strategis antara jalur perdagangan yaman dan Syam. Selain itu kedudukan suku quraisy adalah yang terfasih lisannya dan terjernih bahasanya. Karena itulah nabi Muhammad SAW dijadikan oleh Allah terlahir sebagai bagian dari kabilah ini. Dan termasuk salah satu kemulyaan yang diberikan Allah kepada suku ini adalah sebagai penduduk sekaligus tuan rumah tanah haram, juga sebagai keturunan dari nabi Ismail AS. Adapun dialek Arab itu sangat banyak. Ulama-ulama ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa Arab Fusha itu adalah bahasa baduwi (bahasa Arab pedalaman). Pada mulanya bahasa Arab digunakan dengan adanya interaksi di berbagai bidang mulai dari perdagangan, bertukar pendapat, tempat tinggal yang berdekatan antar kabilah, menunaikan haji, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa masing-masing kabilah memiliki dialek-dialek khusus yang dimiliki sebagai pembeda, maka seiring berjalannya waktu terjadi persaingan antara dialek satu dengan dialek yang lain. Kemudian kabilah yang mampu memenangkan dialek mereka dalam berinteraksi sosial dan sastra adalah kabilah Quraisy atau disebut dengan bahasa Arab fusha. Kabilah ini juga mengarang sebuah syair, khitobah (pidato), dan natsar sebagai bentuk sastra Quraisy.
            Tidak diragukan lagi akan kecintaan mereka terhadap sastra. Seperti banyaknya penyair dengan syair yang sering mereka lantunkan menjadi kelebihan tersendiri dalam sastra lahjah Quraisy. Syair merupakan kegemaran bagi kabilah Quraisy. Mereka menyukai keindahan sastra dan sering mengagungkan penyair. Ini pun menjadikan kita ingat akan kisah masuk islamnya kholifah Umar bin Khattab. Beliau menangis dan terharu ketika mendengar bacaan al-Quran.
            Bahasa Arab yang masih dipakai sampai sekarang merupakan percampuran dari berbagai macam dialek, sebagian dari selatan jazirah Arab dan ini merupakan mayoritasnya. Sedangkan yang lainnya dari utara. Keduanya bersatu hingga terciptalah sebuah bahasa Arab Fusha yang saat ini dipakai dalam tulisan, khutbah, siaran, majalah, dan surat kabar.[5] Ciri-ciri bahasa Arab Fusha :
1. Derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan dialek-dialek yang berlaku dalam bahasa sehari-hari. Termasuk orang-orang yang mampu menguasai bahasa ini juga dinilai mempunyai kedudukan yang tinggi.
2. Bahasa Arab pada umumnya ( ‘Ammiyah ) tidak memiliki karasteristik sifat kedaerahan atau kaitannya dengan kabilah tertentu.


II.IV     Peran Dialek Quraisy Terhadap Perkembangan Bahasa Arab
            Dapat disimpulkan dari keterangan diatas bahwa dialek Quraisy merupakan dialek yang paling unggul diantara dialek-dialek yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor[6] :
1. Pusat keagamaan antar kabilah. Suku Quraisy bertempat tinggal diMakkah yang terdapat kabah sebagai tempat peribadatan.
2. Letak Geografis yang strategis untuk jalur perdagangan. Kedudukan kota Makkah sebagai jalur perdagangan antara Yaman dan Syam.
3. Pengaruh politik, menjadi suatu kenyataan bahwa keutamaan pengaruh agama dan ekonomi serta keutamaan kedudukan negaranya bisa menjadi suatu politik yang cukup kuat dibanding negara-negara lain pada masa jahiliyyah.
4. Dialek Quraisy merupakan dialek Arab yang terluas yang menjadi suatu kekayaan, tertinggi dari segi uslub, serta menjadi dialek yang digunakan untuk seni kata yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh keutamaan yang telah ditentukan bagi para penuturnya. Baik dari segi budaya maupun kesan khusus yang dimiliki oleh dialek Quraisy.
            Karena faktor-faktor tersebut, dialek Quraisy (fusha) diterima dikalangan masyarakat luas. Yang sampai saat inipun masih digunakan sebagai bahasa yang kita pelajari. Disamping bahasa fusha sebagai bahasa Al-Quran, juga sebagai bahasa yang digunakan untuk memperdalam ilmu agama. Seiring berkembangnya suku Quraisy dalam berbagai bidang menjadikan bahasa Arab fusha sebagai bahasa pergaulan di wilayah Jazirah Arab. Selain itu, juga karena masuknya agama islam yang membawa kitab suci Al-Quran yang menjadi pedoman bagi seluruh ummat. Kemudian dialek ini banyak dipelajari oleh berbagai penjuru non Jazirah Arab.

























BAB III
PENUTUP

III.I       Kesimpulan
            Dialek atau dalam bahasa Arab disebut dengan lahjah adalah kumpulan dari sifat-sifat bahasa (variasi bahasa) yang berhubungan dengan suatu lingkungan atau tempat khusus dan dipakai oleh setiap penduduk lingkungan tersebut. Quraisy adalah sebuah nama kabilah pada zaman jahiliyyah. Dialek Arab sebelum islam sangat banyak sekali. Seperti dialek Quraisy, Tamim, Huzail, dan Thai. Tetapi Ulama-ulama ahli bahasa hanya membahas dialek orang baduwi (fusha) pada abad ke 1 dan 2 hijriyah.          
            Selain itu kedudukan suku quraisy adalah yang terfasih lisannya dan terjernih bahasanya. Pada mulanya bahasa Arab dugunakan dengan adanya interaksi diberbagai bidang mulai dari perdagangan, bertukar pendapat, tempat tinggal yang berdekatan antar kabilah, menunaikan haji, dan lain-lain. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa masing-masing kabilah memiliki dialek-dialek khusus yang dimiliki sebagai pembeda, maka seiring berjalannya waktu terjadi persaingan antara dialek satu dengan dialek yang lain. Kemudian kabilah yang mampu memenangkan dialek mereka dalam berinteraksi sosial dan sastra adalah kabilah Quraisy atau disebut dengan bahasa Arab fusha.
            Dialek Quraisy memiliki keutamaan diantaranya sebagai pusat keagamaan, wilayahnya menjadi letak yang digunakan oleh jalur perdagangan antara Syam dan Yaman, segi politik yang cukup kuat, dan dialek yang kaya akan uslub. Kemudian islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan kitab suci Al-Quran sebagai pedoman. Masuknya islam juga mampu mempengaruhi perkembangan dialek ini, disebabkan karena Al-Quran memakai bahasa Arab fusha. Oleh karena itu dialek fusha masih dipakai sampai sekarang.



Daftar Pustaka
Abd al-Tawwab, Ramadhan. 1999. Fushul fi al-Arobiyah. Kairo, Maktabah al-Chonji. Abd al-Wahid al-Wafi, Ali. 1962. Fiqh al-Lughoh. Kairo, Lajnah al-Bayan al-Araby. Yakub, Emil Badi. 1982. Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah.


[1] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 72
[2] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 71
[3] Emil Badi Yakub, Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. (Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah. 1982) Hal: 122
[4] Emil Badi Yakub, Fiqh al-Lughoh al-Arobiyyah wa Khoshoishuha. (Bairut, Dar ats-Tsaqofah al-Islamiyyah. 1982) Hal: 122-123
[5] Ramadhan „Abd al-Tawwab, Fushul fi al-Arobiyah. (Kairo, Maktabah al-Chonji 1999). Hal: 77
[6] Ali Abd al-Wahid al-Wafi, Fiqh al-Lughoh. (Kairo, Lajnah al-Bayan al-Araby, 1962). Hal: 87-88

0 comments:

Post a Comment