Tuesday, January 29, 2019

MAKALAH TENTANG Kaana dan Akhwatnya


I
I.              Pendahuluan
Ilmu nahwu  merupakan salah satu ilmu alat yang bisa memahamkan kita dalam  berbahasa arab serta memahami al-Quran dan Hadits yang menjadi pedoman umat islam di dunia. Serta dapat memahamkan kita dalam mengkaji kitab-kitab karangan para ulama pada zaman dahulu maupun sekarang. Ilmu nahwu dan shorof kalau kita ibaratkan bagaikan perahu dan dayung yang kita gunakan untuk menuju ke sebuah pulau yang indah. Tanpa dayung dan perahu  tersebut kita tidak akan dapat menuju ke sebuah pulau tersebut, sama halnya apabila kita tidak tahu tentang ilmu  alat (nahwu dan shorof) kita tidak akan bisa memahami al-Quran dan Hadits secara baik dan benar.
Maka dari itu ilmu alat mempunyai peran yang sangat penting  sekali bagi kita semua sebagai media untuk memahamkan kita mempelajari konteks arab.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sebagian kecil dari ilmu nahwu, yaitu tentang Kaana dan Saudara-saudaranya.
II.           Rumusan Masalah
A.        Apakah pengertian Kaana dan Akhwatnya?
B.        Apa saja yang termasuk Akhwatnya Kaana?
C.        Bagaimanakah pengamalan Kaana dan Akhwatnya?
D.        Apa fungsi Kaana dan Akhwatnya dalam kalimat?
III.        Pembahasan
a.      Pengertian Kaana dan Akhwatnya
Bagian pertama dari nawasikh ibtida, ialah kaana dan akhwatnya. Kemudian perlu diketahui, bahwa mubtada itu kadang-kadang dinasakh oleh fiil kaana, zhonna, Inna beserta akhwatnya masing-masing.[1]
Kaana dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh. Amil nawasikh ialah amil baik fiil maupun huruf yang merusak susunan jumlah ismiyah.
Menurut kesepakatan ahli nahwu kaana dan saudara-saudaranya merupakan fiil, kecuali lafadz laisa. Kebanyakan ahli nahwu berpendapat bahwa laisa adalah fiil. Akan tetapi al farisi dan Abu Bakar ibnu Syukair mengatakan bahwa laisa adalah huruf.[2]


b.      Akhwat Kaana

كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا  #  اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ بَرِحَا
فَتِئَ وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ  #  لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ مُتْبَعَهْ
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا  #  كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا
Menyamai kaana dalam pengamalannya lafaz zhalla, baata, adhha, ashbaha, amsa, shara, laisa, zaala, bariha.
Fatia, infakka, empat lafaz (yang terakhir) ini disyaratkan diikuti dengan nafi atau serupa nafi
Dan menyamai kaana yaitu lafaz daama dengan didahului maa masdariyah dzorfiyah, seperti lafaz “A’thi maa dhumta mushiiban dirhaman”[3]

1.      Dzalla, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada siang hari.ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا  “siang hari zaid puasa”
2.      Baata, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada malam hari. بَاتَ زَيْدٌ سَاهِرًا “malam hari zaid sahur”
3.      Adh-ha, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu dhuha.اَضْحَى زَيْدٌ ذَاهِبًا “waktu dhuha zaid pergi”
4.      Ashbaha, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu pagi.اَصْبَحَ اْلبَرْدُ شَدِيْدًا “waktu shubuh dingin sekali”
5.      Amsa, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu sore hari.اَمْسَى زَيْدٌ رَاجِعًا “sore hari zaid pulang”
6.      Shara, bermakna perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lain.
      صَارَ زَيْدٌ عَاِلمًا “zaid menjadi orang yang alim”
7.      Laisa, bermakna bukan atau tidak. لَيْسَ زَيْدٌ طَبِيْبًا “zaid bukan dokter”
8.      Ma Zaala, bermakna senantiasa atau masih. مَازَالَ زَيْدٌ قَائِمًا “zaid masih berdiri”
9.      Ma Bariha, bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ صَائِمًا “zaid masih puasa”
10.  Ma Fatia, bermakna senantiasa atau masih. مَافَتِئَ زَيْدٌ فِى اْلمَسْجِدِ  “zaid masih di mesjid”
11.  Ma Infaka, bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ مُقِيْمًا “zaid masih bermuqim”
12.  Ma Daama, bermakna tetap dan terus menerus. اَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا “berilah selagi kamu masih tetap memperoleh dirham”[4]

c.       Amalnya Kaana dan Akhwatnya

تَرْفَعُ كَانَ اْلمُبْتَدَا اسْمًا وَاْلخَبَرْ  #  تَنْصِبُهُ كَكَانَ سَيِّدًا عُمَرْ
Kaana merafakan mubtada sebagai isimnya, dan khabarnya di nashab-kan olehnya seperti [5]“Kaana sayyidan Umar”
Jadi, kaana dapat merafakan mubtada dan menashab-kan khabarnya mubtada, yang di-rafa-kannya dinamakan sebagai isimnya, dan yang dinashab-kannya dinamakan sebagai khabar-nya.
Seperti lafaz  كَانَ سَيِّدًا عُمَرْ “umar adalah sayyid”[6]
كان واخواتها dalam segi amalnya terbagi tiga macam:
1.        Yang bisa beramal tanpa syarat, ialah:
كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا  #  اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ. . . .
1.      كان : ono
2.      بات : sak rino-rino
3.      ظل : sak wengi-wengi
4.      اضحى : sak dluha-dluha
5.      اصبح : sak isuk-isuk
6.      امسى : sak sore-sore
7.      صار : dadi
8.      ليس : ora ono
2.        Yang bisa beramal dengan syarat didahului dengan lafadz naafi atau syibih naafi, ialah:
. . . .زَالَ بَرِحَا
فَتِئَ وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ  #  لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ مُتْبَعَهْ              
1.      زَال
2.      بَرِحَ
3.      فَتِئَ                     افعال استمرار   (ora gingsir-gingsir) / (terus).
4.      انْفَكَ
3.     Yang bisa beramal dengan syarat didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah, ialah:
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا  #  كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا       
1.      دَامَ

كان واخواتها dalam segi tashrifnya juga ada tiga macam :
1. التصريف كامل (sempurna tashrifnya : madli, mudlori’, mashdar, isim fa’il, amar dan nahi). Ada tujuh, yaitu : .صار اصبح اضحى امسى بات ظل كان
2. التصريف ناققص (tidak sempurna tashrifnya) : madli, mudlori’, isim fa’il, nahi. Ada empat, yaitu : مابرح مافتئ ماانفك مازال
3. التصريف عدم (tidak bisa ditashrif, hanya berlaku madli). Ada dua, yaitu : ليس dan دام

كان واخواتها  (dalam segi tam dan naqish) di bagi menjadi dua :
1. Bisa berlaku tam dan naqish, ada 10 :
    1). كان : tinemu.
    2). ظل : langgeng.
    3). اضحى : manjing weqtu dluha.
    4). اصبح : manjing weqtu shubuh.
    5). صار : bali / ngaleh.
    6). بات : nginep.
    7). امسى : manjing weqtu sore.                      
    8). برح  : ilang.                                                     tam
    9). انفك : kapecat.
   10).  دَامَ  : tetep.
2. Selalu berlaku naqish. Ada tiga :
    1). ليس
    2). مازال
    3). مافتئ
*Naqish adalah fi’il yang selalu membutuhkan ma’mul mansubnya, tidak cukup dengan ma’mul marfu’nya. Contoh :   ليس زيد قائما
*Tam adalah fi’il yang sudah cukup dengan ma’mul marfu’nya.
Contoh : مادامت السموات ولارض[7]
Dalam nadzom alfiyah ibnu malik :
وغير ماض مثله ان كان غيرماض منه استعملا
وفي جميعها ثوسطا الخبر اجز وكل سبقه دام حظر
Selain bentuk fi’l madli (kaana dan saudaranya) jelas beramal semisal fi’il madlinya, apabila selain bentuk fi’il madlinya dipergunakan.
Perbolehkanlah..!! menengahi khobar (antara amil dan isimnya) pada semua kaana dan saudara-saudaranya. Dan setiap mereka (nuhat/arabiy) melarang mendahulukannya khobar pada daama.
كذاك سبق خبر ما النفية فجيء بها متلوة لاتاليه
Demikian juga dilarang mendahulukan khobar pada maa nafi, maka jadikanlah ia (maa nafi) sebagai yang diikuti bukan yang mengikuti.
ومنع سبع خبر ليس اصطفي وذوتمام مابرفع يكتفي
Meurut qaul yang muhtashor khobarnya laisa itu tidak bisa didahulukan. kana dan akhwatnya itu ada yang dihukumi tam yaitu yang cukup mempunyai ma’mul marfu’.
ولايلي العامل معمول الخبر الااذاظرفا اتى او حرف جر
Ma’mulnya khobar itu tidak boleh mengiringi amil... kecuali bilamana ma’mul tersebut berupa dzorof atau jaar majrur.
وبعد ان تعويض ماعنها ارتكب كمثل اما انت برا فاقترب
Sesudah huruf “AN masdariyah” menggantikan Maa dari Kaana diberlakukan, semisal contoh: Amma anta barran faqtarib “jadilah dirimu orang yang baik kemudian mendekatlah kepadanya”.
ومضمرالشان اسما انوان وقع موهم مااستبان انه امتنع
Jika ada lafadz yang dlohirnya melarang pengertian itu wajib mengira-ngirakan dlomir sya’en yang menjadi isimnya.[8]

d.         Keistimewaan "كان "
1. "كان " dihukumi zaidah bila jatuh ditengah-tengah dua perkara yang berhubungan dan saling membutuhkan, dan كان  shighotnya madli. Contoh : تقدم من علم اصح كان ما
2. Apabila كان jatuh setelah ان atau لوشرطية maka كان dan isimnya boleh dibuang dan khobarnya ditetapkan. Contoh : المراء مجزي بعمله ان خيرا فخير "اي" ان كان عمله خيرا فجزائه خير التمس
       حديدمن خاتما تلتمس ما كان ولو "اي" حديدمن خاتماولو
3. "كان " yang shighotnya mudlori’ ketika tingkah jazem "ن" nya boleh dibuang selama tidak bertemu dlomir muttasil atau huruf yang mati.
Contoh :  صرف ال بعد يكوا يضف فاءن ,بغيا اك ولم[9]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
1.      Kaana dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh, yaitu amil yang dapat merusak susunan jumlah ismiyah.
2.      Kaana dan akhwatnya amalnya yaitu merafakan mubtada yang menjadi isimnya, dan menashabkan khabar mubtada yang menjadi khabarnya
3.      Amalnya Kaana dan akhwatnya terbagi tiga macam, yaitu:
     1). Bisa beramal tanpa syarat, yaitu: Kaana, Zhalla, Baata, Adh-ha, Ashbaha, Amsa, Shara, dan Laisa
     2). Bisa beramal dengan syarat didahului dengan lafadz naafi atau syibih naafi, yaitu: Zaala, Bariha, Fatia, dan Infaka.
     3). Bisa beramal dengan syarat didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah, yaitu: Daama
4.      Fiil Kaana terbagi dua bagian, yaitu Kaana Taam dan Kaana Naqhis
 Penutup
Demikian apa yang dapat disajikan oleh pemakalah, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Amiinn...

Daftar Pustaka

Abu Bakar, Bahrun, Terjemahan Alfiyah  Syarah Ibnu Aqil, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010.
Anwar, Moch, Tarjamah Matan Alfiyah, Bandung: Alma’arif, 1972.
Shofwan, M. Sholihuddin, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Jombang: Darul Hikmah, 2007.
Afandi, Dawam,  رسالة الاقلام, Sarang: Al Anwar 1, 2012


[1] Moch. Anwar, Tarjamah Matan Alfiyah (Bandung: Alma’arif, 1972), hlm. 84.
[2] Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), hlm. 175.

[3] M. Sholihuddin Shofwan, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik (Jombang: Darul Hikmah, 2007) hlmn. 24.
4 Bahrun Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 178.

6 Abu Bakar, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil,  hlm. 180.


[7] Dawan Afandi, Risalatul Aqlam, (Sarang: Al Anwar 1 PRESS, 2012), hlmn. 34.
[8] Moch. Anwar, Tarjamah Matan Alfiyah (Bandung: Alma’arif, 1972), hlm. 85.
9 Dawan Afandi, Risalatul Aqlam, (Sarang: Al Anwar 1 PRESS, 2012), hlmn. 35.


0 comments:

Post a Comment