I
I. Pendahuluan
Ilmu
nahwu merupakan salah satu ilmu alat yang bisa memahamkan kita
dalam berbahasa arab serta memahami al-Quran dan Hadits yang menjadi
pedoman umat islam di dunia. Serta dapat memahamkan kita dalam mengkaji kitab-kitab
karangan para ulama pada zaman dahulu maupun sekarang. Ilmu nahwu dan shorof
kalau kita ibaratkan bagaikan perahu dan dayung yang kita gunakan untuk menuju
ke sebuah pulau yang indah. Tanpa dayung dan perahu tersebut kita tidak
akan dapat menuju ke sebuah pulau tersebut, sama halnya apabila kita tidak
tahu tentang ilmu alat (nahwu dan shorof) kita tidak akan bisa memahami
al-Quran dan Hadits secara baik dan benar.
Maka
dari itu ilmu alat mempunyai peran yang sangat penting sekali bagi kita
semua sebagai media untuk memahamkan kita mempelajari konteks arab.
Dalam makalah ini
akan dijelaskan sebagian kecil dari ilmu nahwu, yaitu tentang Kaana dan
Saudara-saudaranya.
II. Rumusan
Masalah
A. Apakah pengertian Kaana dan
Akhwatnya?
B. Apa saja yang termasuk Akhwatnya Kaana?
C. Bagaimanakah pengamalan Kaana dan
Akhwatnya?
D. Apa fungsi Kaana dan Akhwatnya
dalam kalimat?
III. Pembahasan
a. Pengertian
Kaana dan Akhwatnya
Bagian
pertama dari nawasikh ibtida, ialah kaana dan akhwatnya. Kemudian perlu
diketahui, bahwa mubtada itu kadang-kadang dinasakh oleh fiil kaana, zhonna,
Inna beserta akhwatnya masing-masing.[1]
Kaana
dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh. Amil nawasikh ialah amil
baik fiil maupun huruf yang merusak susunan jumlah ismiyah.
Menurut
kesepakatan ahli nahwu kaana dan saudara-saudaranya merupakan fiil, kecuali
lafadz laisa. Kebanyakan ahli nahwu berpendapat bahwa laisa adalah fiil. Akan
tetapi al farisi dan Abu Bakar ibnu Syukair mengatakan bahwa laisa adalah
huruf.[2]
b. Akhwat
Kaana
كَكَانَ
ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا # اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ
بَرِحَا
فَتِئَ
وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ # لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ
مُتْبَعَهْ
وَمِثْلُ
كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا # كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا
دِرْهَمَا
Menyamai
kaana dalam pengamalannya lafaz zhalla, baata, adhha, ashbaha, amsa, shara,
laisa, zaala, bariha.
Fatia,
infakka, empat lafaz (yang terakhir) ini disyaratkan diikuti dengan nafi atau
serupa nafi
Dan
menyamai kaana yaitu lafaz daama dengan didahului maa masdariyah dzorfiyah,
seperti lafaz “A’thi maa dhumta mushiiban dirhaman”[3]
1. Dzalla,
bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada siang hari.ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا “siang hari zaid puasa”
2. Baata,
bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada malam
hari. بَاتَ زَيْدٌ سَاهِرًا “malam hari zaid sahur”
3. Adh-ha,
bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu dhuha.اَضْحَى زَيْدٌ ذَاهِبًا “waktu dhuha zaid pergi”
4. Ashbaha,
bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu pagi.اَصْبَحَ اْلبَرْدُ شَدِيْدًا “waktu shubuh dingin sekali”
5. Amsa,
bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu sore
hari.اَمْسَى زَيْدٌ رَاجِعًا “sore hari zaid pulang”
6. Shara,
bermakna perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lain.
صَارَ زَيْدٌ عَاِلمًا “zaid menjadi orang yang alim”
7. Laisa, bermakna bukan
atau tidak. لَيْسَ زَيْدٌ طَبِيْبًا “zaid bukan dokter”
8. Ma Zaala,
bermakna senantiasa atau masih. مَازَالَ زَيْدٌ
قَائِمًا “zaid masih
berdiri”
9. Ma Bariha,
bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ
صَائِمًا “zaid masih
puasa”
10. Ma
Fatia, bermakna senantiasa atau masih. مَافَتِئَ
زَيْدٌ فِى اْلمَسْجِدِ “zaid
masih di mesjid”
11. Ma
Infaka, bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ مُقِيْمًا “zaid
masih bermuqim”
12. Ma
Daama, bermakna tetap dan terus menerus. اَعْطِ
مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا “berilah
selagi kamu masih tetap memperoleh dirham”[4]
c. Amalnya
Kaana dan Akhwatnya
تَرْفَعُ
كَانَ اْلمُبْتَدَا اسْمًا وَاْلخَبَرْ # تَنْصِبُهُ كَكَانَ سَيِّدًا
عُمَرْ
Kaana
merafakan mubtada sebagai isimnya, dan khabarnya di nashab-kan olehnya seperti [5]“Kaana
sayyidan Umar”
Jadi,
kaana dapat merafakan mubtada dan menashab-kan khabarnya mubtada, yang
di-rafa-kannya dinamakan sebagai isimnya, dan yang dinashab-kannya dinamakan
sebagai khabar-nya.
Seperti
lafaz كَانَ سَيِّدًا عُمَرْ “umar adalah sayyid”[6]
كان
واخواتها dalam segi
amalnya terbagi tiga macam:
1. Yang
bisa beramal tanpa syarat, ialah:
كَكَانَ
ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا # اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ. . . .
1. كان : ono
2. بات : sak
rino-rino
3. ظل : sak
wengi-wengi
4. اضحى : sak
dluha-dluha
5. اصبح : sak
isuk-isuk
6. امسى : sak
sore-sore
7. صار : dadi
8. ليس : ora
ono
2. Yang
bisa beramal dengan syarat didahului dengan lafadz naafi atau syibih
naafi, ialah:
. . . .زَالَ بَرِحَا
فَتِئَ
وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ # لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ مُتْبَعَهْ
2. بَرِحَ
3. فَتِئَ افعال
استمرار (ora gingsir-gingsir) /
(terus).
4. انْفَكَ
3. Yang
bisa beramal dengan syarat didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah,
ialah:
وَمِثْلُ
كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا # كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا
دِرْهَمَا
1. دَامَ
كان
واخواتها dalam
segi tashrifnya juga ada tiga macam :
1.
التصريف كامل
(sempurna tashrifnya : madli, mudlori’, mashdar, isim fa’il, amar dan
nahi). Ada tujuh, yaitu : .صار اصبح اضحى
امسى بات ظل كان
2. التصريف ناققص (tidak sempurna tashrifnya) : madli,
mudlori’, isim fa’il, nahi. Ada empat, yaitu : مابرح مافتئ ماانفك مازال
3. التصريف عدم (tidak bisa ditashrif, hanya berlaku madli). Ada dua, yaitu : ليس dan دام
كان
واخواتها (dalam segi tam dan
naqish) di bagi menjadi dua :
1. Bisa berlaku tam dan
naqish, ada 10 :
1). كان : tinemu.
1). كان : tinemu.
2). ظل : langgeng.
3). اضحى : manjing weqtu dluha.
4). اصبح : manjing weqtu
shubuh.
5). صار : bali / ngaleh.
7). امسى : manjing weqtu sore.
8). برح :
ilang.
tam
9). انفك : kapecat.
10). دَامَ :
tetep.
2.
Selalu berlaku naqish. Ada tiga :
1). ليس
2). مازال
3). مافتئ
*Naqish
adalah fi’il yang selalu membutuhkan ma’mul mansubnya, tidak cukup dengan
ma’mul marfu’nya. Contoh : ليس زيد قائما
*Tam
adalah fi’il yang sudah cukup dengan ma’mul marfu’nya.
Contoh
: مادامت السموات ولارض[7]
Dalam
nadzom alfiyah ibnu malik :
وغير
ماض مثله ان كان غيرماض منه استعملا
وفي
جميعها ثوسطا الخبر اجز وكل سبقه دام حظر
Selain
bentuk fi’l madli (kaana dan saudaranya) jelas beramal semisal fi’il madlinya, apabila
selain bentuk fi’il madlinya dipergunakan.
Perbolehkanlah..!!
menengahi khobar (antara amil dan isimnya) pada semua kaana dan
saudara-saudaranya. Dan setiap mereka (nuhat/arabiy) melarang mendahulukannya
khobar pada daama.
كذاك
سبق خبر ما النفية فجيء بها متلوة لاتاليه
Demikian
juga dilarang mendahulukan khobar pada maa nafi, maka jadikanlah ia (maa nafi)
sebagai yang diikuti bukan yang mengikuti.
ومنع
سبع خبر ليس اصطفي وذوتمام مابرفع يكتفي
Meurut
qaul yang muhtashor khobarnya laisa itu tidak bisa didahulukan. kana dan
akhwatnya itu ada yang dihukumi tam yaitu yang cukup mempunyai ma’mul marfu’.
ولايلي
العامل معمول الخبر الااذاظرفا اتى او حرف جر
Ma’mulnya
khobar itu tidak boleh mengiringi amil... kecuali bilamana ma’mul tersebut
berupa dzorof atau jaar majrur.
وبعد
ان تعويض ماعنها ارتكب كمثل اما انت برا فاقترب
Sesudah
huruf “AN masdariyah” menggantikan Maa dari Kaana diberlakukan, semisal contoh:
Amma anta barran faqtarib “jadilah dirimu orang yang baik kemudian mendekatlah
kepadanya”.
ومضمرالشان
اسما انوان وقع موهم مااستبان انه امتنع
Jika
ada lafadz yang dlohirnya melarang pengertian itu wajib mengira-ngirakan dlomir
sya’en yang menjadi isimnya.[8]
d. Keistimewaan "كان
"
1.
"كان " dihukumi zaidah
bila jatuh ditengah-tengah dua perkara yang berhubungan dan saling membutuhkan,
dan كان shighotnya madli. Contoh : تقدم من علم اصح كان ما
2. Apabila كان jatuh setelah ان atau لوشرطية maka كان dan isimnya boleh dibuang dan khobarnya ditetapkan. Contoh : المراء مجزي بعمله ان خيرا فخير "اي" ان كان عمله
خيرا فجزائه خير التمس
حديدمن خاتما تلتمس ما
كان ولو "اي" حديدمن
خاتماولو
3. "كان " yang shighotnya mudlori’ ketika
tingkah jazem "ن" nya boleh dibuang selama tidak bertemu dlomir muttasil
atau huruf yang mati.
Contoh : صرف ال بعد يكوا
يضف فاءن ,بغيا اك
ولم[9]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
1. Kaana
dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh, yaitu amil yang dapat
merusak susunan jumlah ismiyah.
2. Kaana
dan akhwatnya amalnya yaitu merafakan mubtada yang menjadi isimnya, dan menashabkan
khabar mubtada yang menjadi khabarnya
3. Amalnya
Kaana dan akhwatnya terbagi tiga macam, yaitu:
1). Bisa beramal tanpa syarat, yaitu:
Kaana, Zhalla, Baata, Adh-ha, Ashbaha, Amsa, Shara, dan Laisa
2). Bisa beramal dengan syarat didahului
dengan lafadz naafi atau syibih naafi, yaitu: Zaala, Bariha, Fatia, dan Infaka.
3). Bisa beramal dengan syarat didahului
oleh maa masdariyah zhorfiyah, yaitu: Daama
4. Fiil
Kaana terbagi dua bagian, yaitu Kaana Taam dan Kaana Naqhis
Penutup
Demikian apa
yang dapat disajikan oleh pemakalah, semoga dapat memberikan manfaat bagi
siapapun yang membacanya. Amiinn...
Daftar Pustaka
Abu Bakar,
Bahrun, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil, Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 2010.
Anwar,
Moch, Tarjamah Matan Alfiyah, Bandung: Alma’arif, 1972.
Shofwan, M.
Sholihuddin, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Jombang: Darul Hikmah,
2007.
Afandi, Dawam, رسالة الاقلام,
Sarang: Al Anwar 1, 2012
[2] Bahrun
Abu Bakar, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil (Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2010), hlm. 175.
4 Bahrun
Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 178.
9 Dawan Afandi,
Risalatul Aqlam, (Sarang: Al Anwar 1 PRESS, 2012), hlmn. 35.
0 comments:
Post a Comment