MAKALAH
METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Al-Quran secara tekstual memang tidak berubah,
tetapi penafsiran atas teksnya selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan
waktu manusia. Karenanya, al-Qu’ran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi,
dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan
pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan
sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari al-Quran itu. Sehingga al-Qur’an
seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Saat ini, banyak terjemah, tafsir,
dan buku yang mengupas al-Quran. Setiap kali kita mendengar khutbah dan
ceramah, kita juga acap kali telah hafal ayat-ayat yang disampaikan. Kita pun
melaksanakan nilai dan ajaran al-Quran dalam ibadah ritual maupun
muamalah. Selama empat belas
abad ini, khazanah intelektual Islam telah diperkaya dengan berbagai macam
perspektif dan pendekatan dalam menafsirkan al-Quran.
Walaupun demikian terdapat kecenderungan yang
umum untuk memahami al-Quran secara ayat per-ayat bahkan kata perkata. Selain
itu, pemahaman akan al-Quran terutama didasarkan pada pendekatan filologis
gramatikal. Pendekatan ayat per-ayat atau kata per-kata tentunya menghasilkan
pemahaman yang parsial (sepotong) tentang pesan al-Quran. Bahkan, sering
terjadi penafsiran semacam ini secara tidak semena-mena menggagalkan ayat dari
konteks dan dari aspek kesejarahannya untuk membela sudut pandang tertentu.
Dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam penafsiran teologis, filosofis, dan
sufistis, gagasan-gagasan asing sering dipaksakan ke dalam al-Quran tanpa
memerhatikan konteks kesejarahan dan kesusasteraan kitab suci itu.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Metodologi Tafsir ?
2.
Bagaimana perkembangan Metodologi
Tafsir?
3.
Sebutkan Metodologi-metodologi
Penafsiran Al-Qur’an ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Metodologi Tafsir
Kata “Metode” berasal dari
bahasa Yunani methodos,yang berarti
cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis method, dan bangsa Arab menerjemakannya dengan Thariqat dan
manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
suatu yang ditentukan. Pengertian serupa ini juga dijumpai dalam kasus Webster.
Pengertian metode yang umum itu
dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal,atau menyangkut
pekerjaan fisik.Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka
studi tafsir Al-qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW.
Definisi itu memberikan gambaran bahwa metode tafsir Al-Qur’an tersebut berisi
seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an.Apabila seseorsng menafsirkan Al-Qur’an tanpa menerapkan
metode,tidak mustahil penafsirannya akan keliru.Tafsir serupa ini disebut bi al-ra’y al-mahdh (tafsis berdasarkan
pemikiran semata) yang dilarang oleh Nabi bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa
penafsiran serupa itu haram.
Adapun metodologi tafsir ialah
ilmu tentang metode menafsirkan Al-Qur’an.Dengan demikian, kita dapat
membedakan antara dua istilah itu, yakni: metode tafsir,cara-cara menafsirkan
Al-Qur’an.Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbandingan),misalnya disebut analisis metodologis,sedangkan pembahasan itu
berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat Al-Qur’an disebut
pembahasan metodik.Sedangkan cara menyajikan tafsir disebut teknik atau seni
penafsiran.Jadi metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.Dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah
yang telah tertuang didalam metode.Sedangkan metodologi tafsir ialah
pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.[1]
2.2 Perkembangan Metodologi Tafsir
Penafsiran Al-Qur’an itu dilakukan melalui empat cara
(metode) yaitu: ijmali (global), tahlili (analitis), muqarin (perbandingan), dan maudhu’i (tematik).Nabi dan para sahabat
menafsirkan Al-Qur’an secara ijmali,tidak
memberikan rincian yang memadai.Karenanya didalam tafsiran mereka pada umumnya
sukar menemukan uraian yang detail.Karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode
tafsir Al-Qur’an yang mula-mula muncul.Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-ma’tsur,kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini
kemudian berkembang terus dalam dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya
pada bidang-bidang tertentu.seperti fiqih,tasawuf,bahasa dan sebagainya. Dapat
dikatakan,corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya
tafsir maudhu’i atau disebut juga dengan metode maudhu’i atau tematik. Kemudian
lahir pula metode muqarin. Ini di tandai dengan di karangnya kitab-kitab tafsir
yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip seperti Durrat
al-Tanzil wa ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khatib al- Iskafi (w.240 H) dan Al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an
oleh Taj al-Qurra’ al –Karmawi (w.505 H). Terakhir lahirlah metode tematik
sebagaimana telah disebutkan. Meskipun pola penafsiran semacam ini telah lama
di kenal dalam sejarah tafsir Al-Qur’an, namun sebagai dinyatakan oleh Quraish
Shihab, istilah metode maudhu’i yang
kita kenal sekarang pertama kali dicetuskan oleh Ustadz al-Jil (Maha Guru Generasi Mufasir), yaitu Prof.Dr.Ahmad
al-Kuumy.
2.3 Metode-Metode
Penafsiran Al-Qur’an
A. Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode ijmali (global) ialah menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup,dengan bahasa yang populer,
mudah dimengerti,dan enak dibaca.Penulisannya
menuruti susunan ayat-ayat didalam mushaf,penyajiannya tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal
yang didengarnya itu adalah tafsirannya.
1)
Ciri-ciri
Metode Global (ijmali)
Metode global,yakni mufassirnya langsung menafsirkan
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul,tak
jauh beda dengan metode analitis.Namun
uraian didalam metode analitis lebih rinci dari pada didalam metode
global,sehingga mufassir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya.Dalam
metode global tidak ada ruangan baginya
untuk mengemukakan pendapat serupa itu.Tafsir ijmali tidak memberikan
penafsiran secara rinci,tapi ringkas dan
umum.Sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca
adalah tafsirannya.Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang
agak luas,tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis (tahlili).Ciri metode
global ini tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan,apakah keseluruan mushaf
atau hanya sebagian saja.Yang menjadi tolok ukur ialah pola atau sistematika
pembahasan.
2)
Kelebihan
dan Kekurangan Metode Global
a.kelebihan metode ijmali
Ø Praktis
dan mudah difahami
Ø Bebas
dari penafsiran israiliat
Ø Akrab
dengan bahasa Al-Qur’an
b.kekurangan metode ijmali
Ø Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an bersifat persial
Ø Tak
ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai
B. Metode Tahlili (Analitis)
Yang dimaksud dengan metode
tahlili (analitis) ialah menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[2]
Dalam
metode ini,biasanya mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur’an,ayat demi ayat surah demi
surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf.Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan.
1) Ciri-ciri Metode Tahlili
Penafsiran
yang mengikuti metode ini dapat mrngambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y
(pemikiran).Pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab
tafsir,mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat-ayat
Al-Qur’an secara komprehensif dan
menyeluruh baik yang berbentuk al-ma’tsur
maupun al-ra’y.Meskipun tafsir yang
memakai metode analitis ini mengandung uraian yang lebih rinci,namun
dikarenakan bentuknya al-ma’tsur,pendapat
dari mufassirnya sendiri tetap sukar ditemukan.Salah satu ciri utama yang
membedakannya secara mencolok dari tafsir bi
al-ra’y (pemikiran).Di dalam tafsir bi
al-ma’tsur tetap ada analisis tapi
sebatas adanya riwayat.Penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih
ada,jika riwayat habis, maka penafsiran berhenti pula.Berbeda halnya dengan
tafsir bi al-ra’y.Di mana penafsiran akan berjalan terus ,ada atau tidak adanya
riwayat.Hal itu dimungkinkan karena fungsi riwayat didalam tafsir bi al-ra’y hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran bukan
sebagai titik tolak atau subjek.Sebaliknya didalam bi al-ma’tsur,riwayat itulah yang menjadi subjek
penafsirannya.Bentuk ma’tsur,maka pemikiran mufassir tidak tampak didalamnya,sebaliknya pada
penafsiran yang kedua menggunakan bentuk ra’y
pemikiran mufassir terasa amat dominan.Bahwa kedua bentuk penafsiran itu
tidak pernah mengenyampingkan riwayat,tapi keduanya memakainya.Pada tafsir bi al-ma’tsur riwayat dijadikan dasar
pijakan dan titik tolak serta subjek penafsiran.edangkan pada tafsir bi al-ra’y riwayat hanya difungsikan
sebagai legitimasi untuk mendukung penafsiran yang di berikan.Tafsir bi al-ma’tsur sangat tergantung pada
riwayat sebaliknya tafsir bi al-ra’y
tidak mempunyai ketergantungan serupa itu.
2) Kelebihan dan Kekurangan Metode
Analitis
a.kelebihan
metode tahlili
Ø Ruang
lingkup yang luas
Ø Memuat
berbagai ide
b.kekurangan metode tahlili
Ø Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an parsial
Ø Melahirkan
penafsiran subjektif
Ø Masuk
pemikiran israiliat
C.Metode Komparatif (Muqarin)
Yang dimaksud dengan metode komparatif
ialah: membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau memiliki redaksi yang
berbeda bagi satu kasus yang sama. Dari definisi diatas terlihat jelas bahwa
tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat
luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga
memperbandingkan ayat dengan hadits serta membandingkan pendapat para mufasir
dalam menafsirkan suatu ayat.
1)
Ciri-ciri
Metode Komparatif
Perbandingan adalah ciri utama bagi metode
komparatif. Hal itu disebabkan karena
yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan
hadits adalah pendapat para ulama tersebut. Oleh karena itu,jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa meperbandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir maka pola semacam itu tak dapat di sebut metode
komparatif. Dalam konteks inilah Al-Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan metode komparatif ialah:
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir. Selanjutnya
langkah-langkah yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan
memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak berbagai
pendapat para mufasir tentang ayat tersebut,baik yang klasik (salaf) maupun
yang ditulis oleh para ulama khalaf. Dari uraian yang dikemukakan itu diperoleh
gambaran bahwa dari segi sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji di
dalam tafsir perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat,ayat dengan
hadits, dan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.[3]
2)
Kelebihan
dan Kekurangan Metode Komparatif
a.
Kelebihan metode komparatif
Ø Memberikan
wawasan penafsiran yang relatif lebih
luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
Ø Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleran perhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat
kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.
Ø Tafsir
dengan metode komparatif ini amat
berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
Ø Dengan
menggunakan metode komparatif,maka mufasir didorong untuk mengkaji berbagai
ayat dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.
b.
Kekurangan metode komparatif
Ø Penafsiran
yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula,
seperti mereka yang sedang belajar pada
tingkat sekolah menengah ke bawah.
Ø Metode
komparatif kurang dapat diandalkan untuk
menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.
Ø Metode
komparatif terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.[4]
D. Metode maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode
tematik ialah membahas ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai
aspek,seperti asbab al-nuzul,kosakata dan sebagainya.
1) Ciri-ciri Metode Tematik
Sesuai
dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan
tema,judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut
metode topikal. Penafsiran yang diberikan
tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an agar tidak terkesan. Karena itu dalam proses
pemakaiannya metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara
umum di dalam ilmu tafsir. Semua yang berkaitan dengan permasalahan yang
tercakup dalam tema yang dipilih harus dibahas secara tuntas dan menyeluruh
agar di peroleh solusi dari permasalahan yang timbul.
Dalam
penerapan metode ini,ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh
mufasir,senagaimana yang di ungkapkan oleh Al-Farmawi:
a)
Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan
dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya.
b)
Menelusuri latar belakang turun (asbab
nuzul) ayat-ayat yang telah di himpun.
c)
Meneliti dengan cermat semua kata atau
kalimat yang dipakai dalam ayat
tersebut,terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan didalam ayat itu.
d)
Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat
para mufasir baik yang klasik maupun kontemporer.
e)
Semua itu dikaji secara tuntas dan
saksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir
yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta, dan argumen-argumen dari Al-Qur’an,
hadits, atau fakta-fakta sejarah yang dapat di temukan.[5]
2) Kelebihan dan Kekurangan
Metode Tematik
a.kelebihan
metode tematik
Ø Menjawab
tantangan zaman
Ø Praktis
dan sistematis
Ø Dinamis
Ø Membuat
pemahaman menjadi utuh
b.kekurangan metode tematik
Ø Memenggal
ayat Al-Qur’an
Ø Membatasi
pemahaman ayat[6]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suatu kenyataan bahwa tafsir al-Quran ditulis dengan metode dan
pendekatan yang bervariasi. Ini suatu bukti dari kesungguhan para ulama untuk
terus berusaha memahami al-Quran dari berbagai aspek dan kemampuan yang
dimiliki. Dan ini belum final, karena usaha untuk lebih menyempurnakan metode
dan pendekatan tafsir terus dilakukan hingga sekarang, sehingga perlu disambut
dengan cukup setiap upaya untuk terus meningkatkan pemahaman terhadap al-Quran
Tidak bisa dipungkiri bahwa tiap-tiap metode yang digunakan mufassir
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu upaya untuk
terus mencari alternatif metode tafsir dengan banyak belajar dari metode-metode
dan pendekatan-pendekatan tafsir yang sudah ada dan merupakan warisan yang tak
ternilai.
Untuk itu perlu dicari metode alternatif yang kiranya memiliki relevansi
dengan zaman sekarang, dan menjadikannya menyentuh pada realitas kehidupan.
Kita semua berkewajiban melihat al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya
adalah memfungsikan dalam kehidupan kontemporer, yakni dengan memberinya
interpretasi yang sesuai tanpa mengurbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa dengan perkembangan positifnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidan, prof,Dr. Nasruddin.Metodologi Penafsiran Al-Qur’an.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.2005
[1]
Prof.Dr.Nasruddin Baidan,Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005),hlm.1
[2] Ibid.hlm
31
[3] Ibid.hlm 65
[4] Ibid.hlm 143
[5] Ibid. hlm 153
[6] Ibid.hlm 167
0 comments:
Post a Comment