A. Pendahuluan
Dalam masyarakat muslim
tradisional pedesaan, kiai memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan
masyarakat. Kiai, bagi masyarakat Islam tradisional di pedesaan merupakan
pemimpin kharismatik, seorang yang dianggap panutan dan mempunyai kelebihan baik
pengetahuan tentang agama Islam maupun kelebihan lainnya yang tidak dimiliki
oleh orang biasa. Kiai sangat dihormati dan menjadi panutan bagi santri pada
masyarakat muslim tradisional pedesaan. Tetapi kini, setelah banyak pembangunan
yang dilakukan di pedesaan, seperti pembangunan lahan sawah menjadi pabrik atau
perumahan, maka terjadi perubahan pola hubungan antara kiai dengan santri.
Tulisan ini ingin menganalisis perubahan pola hubungan yang terjadi antara kiai
dan santri tradisional di pedesaan akibat pembangunan disesuaikan dengan
teori-teori yang ada.
Dalam masyarakat daerah pedesaan di Jawa, ada kelompok
komunitas muslim yang disebut „santri’. „Santri’ adalah mereka
yang dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu Islam. Dalam terminologi
lain, kelompok ini juga sering disebut sebagai „muslim ortodoks’. Di
pihak lain, terdapat suatu kelompok yang secara berbeda dengan kelompok „santri’,
yaitu mereka yang disebut sebagai kaum „abangan’. Menurut berbagai
sarjana yang melakukan studi tentang Islam di Indonesia, kelompok abangan adalah
mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Islam pra-Islam,
khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam mistisme Hindu atau Buddha.[1]
Membicarakan Islam di
Jawa tidak dapat dilepaskan dengan apa yang dinamakan kiai, santri, dan pondok
pesantren. Santri dalam pengertian umum adalah mereka yang memusatkan
perhatiannya pada doktrin Islam, khususnya penafsiran moral dan sosialnya.
Namun aplikasi terhadap tafsiran moral dan sosialnya mempunyai penekanan yang berbeda-beda.
Kaum santri Jawa, sebagaimana di daerah-daerah lain, tidaklah terpusat pada
suatu komunitas geografis tertentu. Kelompok ini banyak tersebar di dua wilayah
yang secara diametral berbeda, khususnya jika dilihat dari perspektif
kondisi sosial budaya, ekonomi, dan pandangan masing-masing terhadap tradisi
yang berkembang.
Dua
wilayah yang berbeda itu secara sederhana dapat disebut sebagai wilayah rural
(desa) dan urban (kota). Perbedaan sederhana yang dapat dikenakan
pada dua kelompok ini adalah, bahwa sifat kelompok santri „modernis‟ (kota) adalah „apologetik’ dalam
artian bahwa Islam dianggap sebagai kode etik yang paling tinggi untuk
masyarakat modern. Islam sebagai doktrin sosial juga dapat dikenakan pada
kehidupan masyarakat modern. Sedangkan santri „tradisional‟ (desa), sedikit tidak begitu
menekankan aspek doktrinal. Karena itu bagi kelompok santri tradisional ini,
pandangan dan cara hidup mereka relatif lebih dekat dengan kelompok abangan.
Jika dibedakan dengan kelompok abangan, maka secara keagamaan kelompok santri
memandang dirinya lebih tinggi.[2]
Dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus
perubahan pola hubungan kiai dengan masyarakat muslim tradisional pedesaan,
dimana masyarakatnya sangat patuh dan taat pada kiai.
B. Sistem Nilai Santri
Komunitas santri mempunyai sistem nilai tersendiri yang
berbeda dengan sistem manapun. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri dan
watak tersendiri, yang sering memberikan watak, yang menurut Abdurrahman Wahid
disebut subkultural. Meskipun jika ditelaah secara lebih mendalam,
ternyata tidak berwatak subkultural saja. Nilai pokok yang berkembang di dalam
komunitas itu adalah bahwa seluruh kehidupan ini dipandang sebagai ibadah.
Sejak memasuki kehidupan komunitas ini, seorang santri telah diperkenalkan dengan
suatu kehidupan tersendiri, kehidupan yang bersifat keibadatan. Nilai
demikian ini mempunyai makna yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan
kepada Allah, asketisme atau lillahi ta’ala dalam artian tidak
menghiraukan kehidupan keduniawian. [3]
Sebaliknya kehidupan keduniawian disubordinasikan dalam
rangkuman nilai-nilai Ilahi yang telah mereka peluk sebagai sumber nilai
tertinggi. Kehidupan yang submisif (taat) terhadap Allah tidak mesti
menghilangkan aktivitas formal yang langsung memberikan pengaruh-pengaruh
materiil, melainkan submission dalam artian mengorientasi seluruh
aktivitas keduniawian ke dalam suatu tatanan nilai ilahiyah
Ketaatan seorang santri terhadap kiainya, akan dipandang
sebagai suatu manifestasi ketaatan mutlak yang dipandang sebagai ibadah. Dari
sudut perlakuan kepada kehidupan sebagai ibadah inilah, kegiatan mencari ilmu
selama bertahun-tahun dapat dimengerti. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan
agama yang begitu kuat merupakan landasan untuk memahami kehidupan yang serba
ibadah ini. Kecintaan ini kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk,
termasuk penghormatan terhadap diri alim ulama, ahli-ahli ilmu agama, kesediaan
untuk berkurban, bekerja keras untuk menguasai berbagai pengetahuan, dan
kesediaan untuk mengembangkannya dalam lembaga yang sama, tanpa memperdulikan
rintangan dan hambatan yang bakal mereka hadapi. Kecintaan terhadap pengetahuan
agama ini juga dapat dibuktikan dengan kesediaan seorang santri untuk mengaji
pada kiai secara berlama-lama, serta ketekunannya dalam mendalami suatu
tingkatan ilmu. Selain nilai serba ibadah dan cinta ilmu masih ada lagi suatu
nilai yang banyak mempengaruhi kehidupan seorang santri, yaitu keikhlasan.
Melaksanakan sepenuhnya apa yang diperintahkan kiai, tanpa rasa sungkan dan berat,
merupakan bukti utama keikhlasan. Begitu pula pengabdian seorang kiai untuk
mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya tanpa memperhatikan
kepentingan pribadi, merupakan sikap ikhlas timbal balik antara diri seorang
santri dengan kiainya. Rangkuman nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk
watak dunia pesantren, di mana mereka melihat sesuatu tidak secara per-materi,
tetapi materi itu disubordinasikan ke dalam suatu nilai-nilai ilahiyah,
yang kemudian secara tekun dilaksanakan dengan kerelaan dan tanpa rasa berat.
Kiai, menurut Zamakhsyari Dhofier
merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang
memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada
para santrinya. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kiai. Di Indonesia
sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat
gelar “kiai” walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Gelar kiai
biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional. [4]
Para kiai dengan kelebihan
pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa
dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan
orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam
bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban. [5]
Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa kiai memainkan
peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang
pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah
kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan do’a
pada berbagai acara penting. Banyak kiai Jawa yang juga dipercaya mempunyai
kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu, mereka bertindak
sebagai orang yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir roh
jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan tubuh.
Meskipun kebanyakan kiai di Jawa tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan
bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi
masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para kiai yang memiliki pengaruh
yang amat kuat di masyarakat Jawa, merupakan kekuatan penting dalam kehidupan
politik Indonesia.
Fenomena adanya dua kelompok santri yang berbeda, yaitu
mereka yang menetap di kota dan di desa, menunjukkan dua pola sikap terhadap
berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut bidang keduniawian. Secara garis
besar dapat ditunjukkan dua ciri yang menyolok pada keduanya. Bagi mereka yang
berada di daerah pesisir dan kota, mempunyai perhatian yang cukup kuat terhadap
kegiatan ekonomi, relatif lebih terbuka untuk berhubungan dengan kelompok luar
dan secara langsung terlibat dalam proses perubahan kekuasaan dan modernisasi.
Sedangkan kelompok lainnya, yaitu kaum santri yang tinggal di daerah pedesaan,
sebagian besar merupakan kelompok eksklusif; dalam taraf-taraf tertentu
mengabaikan persoalan keduniawian, bertahan tidak saja dari pengaruh santri
kota; serta cenderung untuk mempertahankan apa yang telah mereka miliki, dimana
kesemuanya itu dipusatkan pada suatu lembaga pendidikan tradisional yang
dikenal sebagai pesantren. Iman dan sikap militan dari mereka yang tradisional
adalah merupakan faktor utama mereka menarik diri dari urusan keduniawian.
Penganut Islam tradisional di Indonesia umumnya terorganisir
dalam suatu organisasi Nahdlatul Ulama (NU). NU menurut Martin Van Bruinessen
merupakan sebuah organisasi ulama tradisional yang memiliki pengikut yang besar
jumlahnya, non pemerintah, dan mengakar
ke bawah. Sedangkan menurut Andree Feilard, NU sendiri sesungguhnya
merupakan suatu perhimpunan ulama fiqh (ulama yang berpengetahuan luas
dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat atau sufi. NU,
sebuah organisasi keagamaan yang didirikan para kiai, menyediakan suatu forum
untuk diskusi tentang semua isu penting yang dihadapi kaum Muslimin di
Indonesia. NU juga membuat suatu jaringan luas di kalangan kiai dan menjadi
symbol solidaritas di antara mereka. Melalui NU persaudaraan antar kiai
dilembagakan, dan melalui NU lembaga kekiaian dilegitimasi. [6]
Organisasi ini menurut Haidar, memiliki wawasan keagamaan
yang berakar pada tradisi keilmuan tertentu, berkesinambungan menelusuri mata
rantai histories sejak abad pertengahan, yaitu apa yang disebut ahlusunnah
wal jamaah. Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti
faham Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti
salah satu dari madzhab empat dalam bidang fiqh, dan mengikuti
faham al-Junaid dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep ini
tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip ini
dapat dikembangkan pandangan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu
tercermin pula dalam perilaku politik maupun kultural.
Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang besar,
menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi ini
sebagai salah satu kekuatan sosial politik, kultural dan keagamaan yang sangat
berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun.
C. Makna
Kiai Bagi Masyarakat Muslim Pedesaan
Dalam kehidupan sehari-hari
dalam masyarakat, umumnya terdapat pemimpin yang diakui dan dianut dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
Tuhannya maupun hubungan manusia dengan manusia. Pemimpin tersebut mempunyai
kelebihan dalam hal pengetahuan maupun kemampuan lahir batin sehingga
mampu menggerakkan anggotanya dalam
bertindak maupun menjelaskan rahasia yang tersimpan dari wahyu kebenaran dari
praktek keagamaan. Menurut Turner suatu kelompok komunitas ataupun anggota
masyarakat memiliki semacam lambang yang dominan yang berfungsi efektif dalam
mempersatukan kelompok dan merupakan pendorong bagi kegiatan anggotanya.
Kiai, bagi masyarakat Islam
tradisional di pedesaan merupakan pemimpin kharismatik, seorang yang dianggap
panutan dan mempunyai kelebihan baik pengetahuan tentang agama Islam maupun
kelebihan lainnya seperti kekuatan batin yang tidak dimiliki oleh orang biasa.
Ia fasih dan mempunyai kemauan yang cermat dalam membaca pikiran
pengikut-pengikutnya. Sifat khas seorang kiai adalah terus terang, berani, dan
blak-blakan dalam bersikap dan bahkan sebagai seorang ahli ia jauh lebih unggul
dari pada pemimpin agama formal dalam menerapkan prinsip-prinsip ijtihad,
yaitu mengenali ajaran-ajaran Islam secara logika.
Horikoshi berpendapat bahwa
ulama telah mengabdi sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas
proses penyebaran ortodoksi Islam terhadap generasi Islam selanjutnya. Mereka
menguasai pendidikan Islam di madrasah, memegang kekuasaan tertinggi dalam
penafsiran Al Qur’an dan Hadist, dan sering
pula muncul sebagai pemimpin sosial politik. Di antara kaum muslimin pedesaan
Indonesia yang sunni, ulama ortodoks (kiai) berjasa
mempertahankan kemurnian Islam. [7]
Di Jawa, secara umum, tingkah
laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang
dikerjakan oleh para kiai (melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalan
bersama yang lain, seperti khutbah Jum’at, pengajian, istighotsah)
yang mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah laku ideal, pola
pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan-amalan Islam.
Terutama di pedesaan di Jawa, ketaatan kepada norma-norma tingkah laku Islam
merupakan refleksi dari kecenderungan mereka untuk patuh pada tradisi ke-Islaman
para kiai.
Status pemimpin dalam
struktur sosial masyarakatnya menurut Sartono Kartodirdjo, membawa fungsi atau
peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan kolektif tercapai
dan terjaga nilai -nilai sosial kultural masyarakatnya. Ada interaksi dan
komunikasi dua arah antara pemimpin dan pengikut. Diperlukan persetujuan,
dukungan dan kepercayaan dari pengikut kepada pemimpinnya. Oleh karena itu
banyak pemimpin masyarakat tradisional memegang kekuasaan yang dualistik, yaitu
kekuasaan duniawi dan rokhaniah. Karena sebagian besar masyarakat tradisional
masih hidup dalam sektor agraris yang terutama bersifat tradisional, pada
umumnya kepemimpinan kharismatis dan tradisional masih sangat besar
pengaruhnya. Mobilisasi rakyat oleh pemimpin hanya mungkin bila komunikasi
antara kedua pihak dilakukan dalam kerangka tradisional dengan menggunakan
ideologi atau kepercayaan tradisional.
Kharisma merupakan sejenis
tipe kepemimpinan yang sumber wewenangnya berasal dari kualitas pribadi sang
pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang popular. Ia
merupakan orang yang memperoleh anugerah istimewa dari suatu kekuatan
supernatural sehingga dapat menimbulkan daya pesona dan daya tarik bagi
masyarakat luas.
Para kiai dengan kelebihan pengetahuannya
dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami
keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap
memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.
Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian
yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban.
Martin Van Bruinessen,
menyatakan bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru.
Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan
pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual
penting serta membacakan do’a pada berbagai acara
penting. Banyak kiai di Jawa yang juga dipercaya mempunyai kemampuan
penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu; mereka bertindak sebagai orang
yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir roh jahat, membuat
jimat-jimat atau mengajarkan teknik kekebalan tubuh. Peranan kritis seorang
kiai terletak pada posisinya sebagai pemimpin dan guru agama. Kiai merupakan
anggota elite, yang berupaya membawa masyarakat kepada situasi yang
diidealisasikan sebagaimana dikonsepkan Islam. Setiap kiai juga mencoba
menginterpretasikan pembangunan dan perubahan dalam bidang sosio kultural dan
politik yang dapat dipahami oleh masyarakat desa.
Sistem nilai yang berkembang
di lingkungan pesantren, memiliki ciri dan perwatakan tersendiri, yang sering
memberikan watak sub kultural pada kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai utama
yang berkembang di lingkungan pesantren adalah, pertama cara memandang
kehidupan keseluruhan sebagai ibadat. Kedua, kecintaan yang kuat
terhadap ilmu-ilmu agama, dan ketiga, keikhlasan atau ketulusan bekerja
untuk tujuan-tujuan bersama.
D. Perubahan
Pola Hubungan Kiai dengan Masyarakat dan Tradisi-tradisi
Perubahan yang terjadi di
masyarakat yaitu munculnya modernisasi dan peningkatan upaya profesionalisme
turut mempersempit ruang gerak kiai. Perubahan mata pencaharian juga
menyebabkan berkurangnya peran kiai. Berubahnya mata pencaharian masyarakat
dari petani di pedesaan ke bidang industri menyebabkan ketergantungan
masyarakat kepada kiai berkurang serta mengurangi intensitas pertemuan kiai
dengan masyarakat. Karena sebagian besar waktu digunakan oleh penduduk untuk
bekerja di sector industri, pabrik, jasa, sehingga sangat sedikit waktu tersisa
untuk berada di rumah. Hal tersebut berbeda ketika dulu mereka bekerja sebagai
petani, dimana mereka mempunyai waktu yang sangat luang untuk bertemu kiai atau
bersosialisasi dengan lingkungannya. Sehingga peran kiai dalam masyarakat
semakin mengecil. Di samping itu tradisi-tradisi dalam masyarakat seperti selametan,
tahlilan, istighotsah, wiridan yang mereka anggap
mempunyai banyak manfaat seperti untuk menimbulkan rasa persaudaraan sesama
muslim (ukhuwah Islamiyah), ajang silaturrahmi, sarana mendo’akan sesama muslim, meningkatkan rasa persatuan
dan kebersamaan antar sesama warga, tradisi-tradisi tersebut mengalami
perubahan-perubahan secara teknis disamping juga mengalami perubahan intensitas
kegiatan. Meskipun menurut mereka tradisi-tradisi tersebut hanya merupakan
sarana untuk menjalankan ajaran agama dan tidak bertentangan dengan ajaran agama
yang mereka anut. Namun secara langsung atau tidak tradisi-tradisi tersebut
semakin lama makin mengalami perubahan, disesuaikan dengan waktu, tenaga,
biaya, disamping munculnya sikap rasionalisasi masyarakat akibat pembangunan
dan industrialisasi. Tradisi-tradisi tersebut dimodifikasi sedemikian rupa yang
berbeda dengan keadaan sebelumnya. Hampir tidak ada masyarakat yang statik,
perubahan sosial budaya merupakan proses kehidupan itu sendiri, yang dapat
dimanifestasikan sebagai kehendak menempuh perjalanan kehidupan. Timbul
tenggelamnya sistem sosial budaya suatu masyarakat adalah karena perubahan
fungsi berbagai sistem sosial atau unsur budaya untuk memberi peluang kepada
sistem atau unsur lain yang dianggap penting dan baru dalam menjawab proses kehidupan
yang muncul.
Perubahan pola hubungan kiai
dengan masyarakat serta tradisi-tradisi keagamaan tidak mempengaruhi bagian
atau sistem yang lain. Menurut Sorokin, jika kultur atau budaya itu tersusun
dari sejumlah sistem dan kumpulan-kumpulan yang hidup berdampingan secara
damai, maka kultur itu akan berubah secara berbeda di setiap bagian yang
berbeda; artinya, seluruh bagian-bagian pentingnya akan berubah bersama-sama,
sementara kumpulan sistem itu akan berubah secara terpisah tanpa mempengaruhi
kumpulan sistem yang lain. Sorokin menjelaskan metodenya untuk menemukan
prinsip sentral tempat tersusunnya sebuah sistem dan yang memberi arti terhadap
setiap unsurnya (subsistem). Ia menjelaskan bahwa sebuah kultur besar (super
sistem) merupakan sebuah kesatuan atau individualitas yang unsur-unsurnya
dirembesi oleh prinsip sentral yang sama dan membentuk nilai-nilai dasar yang
sama.
Perubahan pola hubungan kiai
dengan masyarakat yang menyebabkan berkurangnya peran kiai dalam masyarakat
dapat dilihat dengan pendekatan struktur sosial. Struktur sosial menurut
Radcliffe-Brown adalah pengaturan continew atas orang-orang dalam kaitan
hubungan yang ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau
pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Para strukturalis sosial mencoba
menafsir ideologi suatu masyarakat, pengaturan tekno ekonomisnya, dan bahkan
kelompok tipe kepribadian, terutama sebagai aspek perilaku peran dalam semua
institusi sosial utama masyarakat. Dalam pengejahwantahan pola yang idealnya
diberlakukan dalam tingkah sehari-hari, individu jarang mematuhi secara tepat
hal-hal yang diharapkan dan ditetapkan secara struktural. Dalam melaksanakan
peran sosialnya, individu mungkin melakukan tafsir ulang (re-interpretasi),
improvisasi, modifikasi, atau inovasi. Dan interaksi sosial yang inovatif ini
mungkin menghasilkan perubahan struktur sosial.
Durkheim berpendapat bahwa
agama hanya dapat dipahami dengan mengkonsentrasikan pada peran sosialnya dalam
menyatukan komunitas di balik rangkaian ritual dan kepercayaan. Gambaran
pembatasan agama ini membagi dunia menjadi dua: suci dan profan. Konsekuensi
sosial praktek-praktek ke arah bidang yang disucikan itu merupakan kreasi dan
reproduksi suatu kolektif keyakinan, suatu kesatuan sosial yang mengikat para
anggota ke dalam unit-unit yang homogen. Pembahasan tentang perubahan sosial
budaya di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan masyarakat Indonesia itu
sendiri dalam menembus perkembangannya. Pengaruh-pengaruh dari luar belum
menyebabkan perubahan sosial yang bersifat struktural yang mampu menggeser
masyarakat dari posisi tradisional kepada keadaan lain yang lepas ataupun
berubah. Pengaruh-pengaruh luar tersebut masih mampu disaring oleh norma dan
tatanan masyarakat, atau menjadi pelengkap dan bahkan memperkaya khazanah
sosial budaya masyarakat. Demikian pula halnya dengan agama, karateristik dan
tradisi dari kelompok masyarakat penyebar agama itu telah memberi warna
kehidupan agama dan tidak selalu serupa dengan asal sumbernya. Sehubungan
dengan itu dapatlah dikemukakan bahwa tatanan masyarakat, yang berupa unsur
tradisi penting dan menjadi pedoman kehidupan, tampak berkesinambungan dari
masa ke masa.
E.
Kesimpulan
Perubahan
pola hubungan kiai dengan masyarakat yang mengakibatkan semakin berkurangnya
peran kiai merupakan perubahan struktur sosial dimana di dalamnya terdapat
pola-pola hubungan dan peran. Perubahan yang terjadi bisa merupakan perubahan
kecil atau perubahan besar. Perubahan kecil yang terjadi tidak akan
mempengaruhi seluruh sistem yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan
Weber bahwa kini di zaman global dimana masyarakatnya lebih mengutamakan
rasionalisasi dan intelektualisasi, dunia bukan lagi hal yang keramat.
Kapitalisme tidak lagi memerlukan dukungan agama, timbul sekularisasi, meskipun
tidak berarti menghilangkan agama. Kepercayaan terhadap nilai-nilai asketik
bukan merupakan hal yang utama dalam masyarakat kini, nilai-nilai keagamaan
dimodifiasi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan, yang
berbeda atau bergeser dari nilai-nilai sebelumnya
Daftar Pustaka
Bruinessen, Martin va n, 1994, NU, Tradisi
Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta:
LkiS
Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kyai dan
Perubahan Sosial, Jakarta: P3M
Wahid,
Abdurrahman, 1978, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV Dharma Bhakti
[1] Bachtiar Effendi, “Nilai-nilai Kaum
Santri” (Jakarta: P3M, 1985) hal.37
[2] Ibid, hal 45
[3] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai
Pesantren, (Jakarta: CV Dharma Bhakti, 1978)
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982) hal
55
[5] Ibid, hal 56
[6] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi
Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hal.
21
[7] Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), hal 1
0 comments:
Post a Comment