Wednesday, January 30, 2019

MAKALAH TENTANG KIAI DALAM PANDANGAN MASYARAKAN DESA


A.   Pendahuluan

 Dalam masyarakat muslim tradisional pedesaan, kiai memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan masyarakat. Kiai, bagi masyarakat Islam tradisional di pedesaan merupakan pemimpin kharismatik, seorang yang dianggap panutan dan mempunyai kelebihan baik pengetahuan tentang agama Islam maupun kelebihan lainnya yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kiai sangat dihormati dan menjadi panutan bagi santri pada masyarakat muslim tradisional pedesaan. Tetapi kini, setelah banyak pembangunan yang dilakukan di pedesaan, seperti pembangunan lahan sawah menjadi pabrik atau perumahan, maka terjadi perubahan pola hubungan antara kiai dengan santri. Tulisan ini ingin menganalisis perubahan pola hubungan yang terjadi antara kiai dan santri tradisional di pedesaan akibat pembangunan disesuaikan dengan teori-teori yang ada.
Dalam masyarakat daerah pedesaan di Jawa, ada kelompok komunitas muslim yang disebut „santri’. „Santri’ adalah mereka yang dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu Islam. Dalam terminologi lain, kelompok ini juga sering disebut sebagai „muslim ortodoks’. Di pihak lain, terdapat suatu kelompok yang secara berbeda dengan kelompok „santri’, yaitu mereka yang disebut sebagai kaum „abangan’. Menurut berbagai sarjana yang melakukan studi tentang Islam di Indonesia, kelompok abangan adalah mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Islam pra-Islam, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam mistisme Hindu atau Buddha.[1]
 Membicarakan Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dengan apa yang dinamakan kiai, santri, dan pondok pesantren. Santri dalam pengertian umum adalah mereka yang memusatkan perhatiannya pada doktrin Islam, khususnya penafsiran moral dan sosialnya. Namun aplikasi terhadap tafsiran moral dan sosialnya mempunyai penekanan yang berbeda-beda. Kaum santri Jawa, sebagaimana di daerah-daerah lain, tidaklah terpusat pada suatu komunitas geografis tertentu. Kelompok ini banyak tersebar di dua wilayah yang secara diametral berbeda, khususnya jika dilihat dari perspektif kondisi sosial budaya, ekonomi, dan pandangan masing-masing terhadap tradisi yang berkembang.
Dua wilayah yang berbeda itu secara sederhana dapat disebut sebagai wilayah rural (desa) dan urban (kota). Perbedaan sederhana yang dapat dikenakan pada dua kelompok ini adalah, bahwa sifat kelompok santri „modernis (kota) adalah „apologetik’ dalam artian bahwa Islam dianggap sebagai kode etik yang paling tinggi untuk masyarakat modern. Islam sebagai doktrin sosial juga dapat dikenakan pada kehidupan masyarakat modern. Sedangkan santri „tradisional (desa), sedikit tidak begitu menekankan aspek doktrinal. Karena itu bagi kelompok santri tradisional ini, pandangan dan cara hidup mereka relatif lebih dekat dengan kelompok abangan. Jika dibedakan dengan kelompok abangan, maka secara keagamaan kelompok santri memandang dirinya lebih tinggi.[2]
 Dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus perubahan pola hubungan kiai dengan masyarakat muslim tradisional pedesaan, dimana masyarakatnya sangat patuh dan taat pada kiai.
B.     Sistem Nilai Santri
Komunitas santri mempunyai sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem manapun. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri dan watak tersendiri, yang sering memberikan watak, yang menurut Abdurrahman Wahid disebut subkultural. Meskipun jika ditelaah secara lebih mendalam, ternyata tidak berwatak subkultural saja. Nilai pokok yang berkembang di dalam komunitas itu adalah bahwa seluruh kehidupan ini dipandang sebagai ibadah. Sejak memasuki kehidupan komunitas ini, seorang santri telah diperkenalkan dengan suatu kehidupan tersendiri, kehidupan yang bersifat keibadatan. Nilai demikian ini mempunyai makna yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan kepada Allah, asketisme atau lillahi ta’ala dalam artian tidak menghiraukan kehidupan keduniawian. [3]
Sebaliknya kehidupan keduniawian disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai Ilahi yang telah mereka peluk sebagai sumber nilai tertinggi. Kehidupan yang submisif (taat) terhadap Allah tidak mesti menghilangkan aktivitas formal yang langsung memberikan pengaruh-pengaruh materiil, melainkan submission dalam artian mengorientasi seluruh aktivitas keduniawian ke dalam suatu tatanan nilai ilahiyah
Ketaatan seorang santri terhadap kiainya, akan dipandang sebagai suatu manifestasi ketaatan mutlak yang dipandang sebagai ibadah. Dari sudut perlakuan kepada kehidupan sebagai ibadah inilah, kegiatan mencari ilmu selama bertahun-tahun dapat dimengerti. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama yang begitu kuat merupakan landasan untuk memahami kehidupan yang serba ibadah ini. Kecintaan ini kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, termasuk penghormatan terhadap diri alim ulama, ahli-ahli ilmu agama, kesediaan untuk berkurban, bekerja keras untuk menguasai berbagai pengetahuan, dan kesediaan untuk mengembangkannya dalam lembaga yang sama, tanpa memperdulikan rintangan dan hambatan yang bakal mereka hadapi. Kecintaan terhadap pengetahuan agama ini juga dapat dibuktikan dengan kesediaan seorang santri untuk mengaji pada kiai secara berlama-lama, serta ketekunannya dalam mendalami suatu tingkatan ilmu. Selain nilai serba ibadah dan cinta ilmu masih ada lagi suatu nilai yang banyak mempengaruhi kehidupan seorang santri, yaitu keikhlasan. Melaksanakan sepenuhnya apa yang diperintahkan kiai, tanpa rasa sungkan dan berat, merupakan bukti utama keikhlasan. Begitu pula pengabdian seorang kiai untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya tanpa memperhatikan kepentingan pribadi, merupakan sikap ikhlas timbal balik antara diri seorang santri dengan kiainya. Rangkuman nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk watak dunia pesantren, di mana mereka melihat sesuatu tidak secara per-materi, tetapi materi itu disubordinasikan ke dalam suatu nilai-nilai ilahiyah, yang kemudian secara tekun dilaksanakan dengan kerelaan dan tanpa  rasa berat.
Kiai, menurut Zamakhsyari Dhofier merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kiai. Di Indonesia sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat gelar “kiai” walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Gelar kiai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional. [4]
Para kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban. [5]
Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan do’a pada berbagai acara penting. Banyak kiai Jawa yang juga dipercaya mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu, mereka bertindak sebagai orang yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir roh jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan tubuh. Meskipun kebanyakan kiai di Jawa tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para kiai yang memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa, merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.
Fenomena adanya dua kelompok santri yang berbeda, yaitu mereka yang menetap di kota dan di desa, menunjukkan dua pola sikap terhadap berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut bidang keduniawian. Secara garis besar dapat ditunjukkan dua ciri yang menyolok pada keduanya. Bagi mereka yang berada di daerah pesisir dan kota, mempunyai perhatian yang cukup kuat terhadap kegiatan ekonomi, relatif lebih terbuka untuk berhubungan dengan kelompok luar dan secara langsung terlibat dalam proses perubahan kekuasaan dan modernisasi. Sedangkan kelompok lainnya, yaitu kaum santri yang tinggal di daerah pedesaan, sebagian besar merupakan kelompok eksklusif; dalam taraf-taraf tertentu mengabaikan persoalan keduniawian, bertahan tidak saja dari pengaruh santri kota; serta cenderung untuk mempertahankan apa yang telah mereka miliki, dimana kesemuanya itu dipusatkan pada suatu lembaga pendidikan tradisional yang dikenal sebagai pesantren. Iman dan sikap militan dari mereka yang tradisional adalah merupakan faktor utama mereka menarik diri dari urusan keduniawian.
Penganut Islam tradisional di Indonesia umumnya terorganisir dalam suatu organisasi Nahdlatul Ulama (NU). NU menurut Martin Van Bruinessen merupakan sebuah organisasi ulama tradisional yang memiliki pengikut yang besar jumlahnya, non pemerintah, dan mengakar  ke bawah. Sedangkan menurut Andree Feilard, NU sendiri sesungguhnya merupakan suatu perhimpunan ulama fiqh (ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat atau sufi. NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan para kiai, menyediakan suatu forum untuk diskusi tentang semua isu penting yang dihadapi kaum Muslimin di Indonesia. NU juga membuat suatu jaringan luas di kalangan kiai dan menjadi symbol solidaritas di antara mereka. Melalui NU persaudaraan antar kiai dilembagakan, dan melalui NU lembaga kekiaian dilegitimasi. [6]
Organisasi ini menurut Haidar, memiliki wawasan keagamaan yang berakar pada tradisi keilmuan tertentu, berkesinambungan menelusuri mata rantai histories sejak abad pertengahan, yaitu apa yang disebut ahlusunnah wal jamaah. Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari madzhab empat dalam bidang fiqh, dan mengikuti faham al-Junaid dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep ini tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip ini dapat dikembangkan pandangan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu tercermin pula dalam perilaku politik maupun kultural.
Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang besar, menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi ini sebagai salah satu kekuatan sosial politik, kultural dan keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun.
C.   Makna Kiai Bagi Masyarakat Muslim Pedesaan
Dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, umumnya terdapat pemimpin yang diakui dan dianut dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan manusia dengan manusia. Pemimpin tersebut mempunyai kelebihan dalam hal pengetahuan maupun kemampuan lahir batin sehingga mampu  menggerakkan anggotanya dalam bertindak maupun menjelaskan rahasia yang tersimpan dari wahyu kebenaran dari praktek keagamaan. Menurut Turner suatu kelompok komunitas ataupun anggota masyarakat memiliki semacam lambang yang dominan yang berfungsi efektif dalam mempersatukan kelompok dan merupakan pendorong bagi kegiatan anggotanya.
Kiai, bagi masyarakat Islam tradisional di pedesaan merupakan pemimpin kharismatik, seorang yang dianggap panutan dan mempunyai kelebihan baik pengetahuan tentang agama Islam maupun kelebihan lainnya seperti kekuatan batin yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Ia fasih dan mempunyai kemauan yang cermat dalam membaca pikiran pengikut-pengikutnya. Sifat khas seorang kiai adalah terus terang, berani, dan blak-blakan dalam bersikap dan bahkan sebagai seorang ahli ia jauh lebih unggul dari pada pemimpin agama formal dalam menerapkan prinsip-prinsip ijtihad, yaitu mengenali ajaran-ajaran Islam secara logika.
Horikoshi berpendapat bahwa ulama telah mengabdi sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas proses penyebaran ortodoksi Islam terhadap generasi Islam selanjutnya. Mereka menguasai pendidikan Islam di madrasah, memegang kekuasaan tertinggi dalam penafsiran Al Quran dan Hadist, dan sering pula muncul sebagai pemimpin sosial politik. Di antara kaum muslimin pedesaan Indonesia yang sunni, ulama ortodoks (kiai) berjasa mempertahankan kemurnian Islam. [7]
Di Jawa, secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan oleh para kiai (melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalan bersama yang lain, seperti khutbah Jumat, pengajian, istighotsah) yang mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah laku ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan-amalan Islam. Terutama di pedesaan di Jawa, ketaatan kepada norma-norma tingkah laku Islam merupakan refleksi dari kecenderungan mereka untuk patuh pada tradisi ke-Islaman para kiai.
Status pemimpin dalam struktur sosial masyarakatnya menurut Sartono Kartodirdjo, membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan kolektif tercapai dan terjaga nilai -nilai sosial kultural masyarakatnya. Ada interaksi dan komunikasi dua arah antara pemimpin dan pengikut. Diperlukan persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari pengikut kepada pemimpinnya. Oleh karena itu banyak pemimpin masyarakat tradisional memegang kekuasaan yang dualistik, yaitu kekuasaan duniawi dan rokhaniah. Karena sebagian besar masyarakat tradisional masih hidup dalam sektor agraris yang terutama bersifat tradisional, pada umumnya kepemimpinan kharismatis dan tradisional masih sangat besar pengaruhnya. Mobilisasi rakyat oleh pemimpin hanya mungkin bila komunikasi antara kedua pihak dilakukan dalam kerangka tradisional dengan menggunakan ideologi atau kepercayaan tradisional.
Kharisma merupakan sejenis tipe kepemimpinan yang sumber wewenangnya berasal dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan diri pribadinya yang popular. Ia merupakan orang yang memperoleh anugerah istimewa dari suatu kekuatan supernatural sehingga dapat menimbulkan daya pesona dan daya tarik bagi masyarakat luas.
Para kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban.
Martin Van Bruinessen, menyatakan bahwa kiai memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan doa pada berbagai acara penting. Banyak kiai di Jawa yang juga dipercaya mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu; mereka bertindak sebagai orang yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir roh jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan teknik kekebalan tubuh. Peranan kritis seorang kiai terletak pada posisinya sebagai pemimpin dan guru agama. Kiai merupakan anggota elite, yang berupaya membawa masyarakat kepada situasi yang diidealisasikan sebagaimana dikonsepkan Islam. Setiap kiai juga mencoba menginterpretasikan pembangunan dan perubahan dalam bidang sosio kultural dan politik yang dapat dipahami oleh masyarakat desa.
Sistem nilai yang berkembang di lingkungan pesantren, memiliki ciri dan perwatakan tersendiri, yang sering memberikan watak sub kultural pada kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai utama yang berkembang di lingkungan pesantren adalah, pertama cara memandang kehidupan keseluruhan sebagai ibadat. Kedua, kecintaan yang kuat terhadap ilmu-ilmu agama, dan ketiga, keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan bersama.
D.   Perubahan Pola Hubungan Kiai dengan Masyarakat dan Tradisi-tradisi
Perubahan yang terjadi di masyarakat yaitu munculnya modernisasi dan peningkatan upaya profesionalisme turut mempersempit ruang gerak kiai. Perubahan mata pencaharian juga menyebabkan berkurangnya peran kiai. Berubahnya mata pencaharian masyarakat dari petani di pedesaan ke bidang industri menyebabkan ketergantungan masyarakat kepada kiai berkurang serta mengurangi intensitas pertemuan kiai dengan masyarakat. Karena sebagian besar waktu digunakan oleh penduduk untuk bekerja di sector industri, pabrik, jasa, sehingga sangat sedikit waktu tersisa untuk berada di rumah. Hal tersebut berbeda ketika dulu mereka bekerja sebagai petani, dimana mereka mempunyai waktu yang sangat luang untuk bertemu kiai atau bersosialisasi dengan lingkungannya. Sehingga peran kiai dalam masyarakat semakin mengecil. Di samping itu tradisi-tradisi dalam masyarakat seperti selametan, tahlilan, istighotsah, wiridan yang mereka anggap mempunyai banyak manfaat seperti untuk menimbulkan rasa persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), ajang silaturrahmi, sarana mendoakan sesama muslim, meningkatkan rasa persatuan dan kebersamaan antar sesama warga, tradisi-tradisi tersebut mengalami perubahan-perubahan secara teknis disamping juga mengalami perubahan intensitas kegiatan. Meskipun menurut mereka tradisi-tradisi tersebut hanya merupakan sarana untuk menjalankan ajaran agama dan tidak bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Namun secara langsung atau tidak tradisi-tradisi tersebut semakin lama makin mengalami perubahan, disesuaikan dengan waktu, tenaga, biaya, disamping munculnya sikap rasionalisasi masyarakat akibat pembangunan dan industrialisasi. Tradisi-tradisi tersebut dimodifikasi sedemikian rupa yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Hampir tidak ada masyarakat yang statik, perubahan sosial budaya merupakan proses kehidupan itu sendiri, yang dapat dimanifestasikan sebagai kehendak menempuh perjalanan kehidupan. Timbul tenggelamnya sistem sosial budaya suatu masyarakat adalah karena perubahan fungsi berbagai sistem sosial atau unsur budaya untuk memberi peluang kepada sistem atau unsur lain yang dianggap penting dan baru dalam menjawab proses kehidupan yang muncul.
Perubahan pola hubungan kiai dengan masyarakat serta tradisi-tradisi keagamaan tidak mempengaruhi bagian atau sistem yang lain. Menurut Sorokin, jika kultur atau budaya itu tersusun dari sejumlah sistem dan kumpulan-kumpulan yang hidup berdampingan secara damai, maka kultur itu akan berubah secara berbeda di setiap bagian yang berbeda; artinya, seluruh bagian-bagian pentingnya akan berubah bersama-sama, sementara kumpulan sistem itu akan berubah secara terpisah tanpa mempengaruhi kumpulan sistem yang lain. Sorokin menjelaskan metodenya untuk menemukan prinsip sentral tempat tersusunnya sebuah sistem dan yang memberi arti terhadap setiap unsurnya (subsistem). Ia menjelaskan bahwa sebuah kultur besar (super sistem) merupakan sebuah kesatuan atau individualitas yang unsur-unsurnya dirembesi oleh prinsip sentral yang sama dan membentuk nilai-nilai dasar yang sama.
Perubahan pola hubungan kiai dengan masyarakat yang menyebabkan berkurangnya peran kiai dalam masyarakat dapat dilihat dengan pendekatan struktur sosial. Struktur sosial menurut Radcliffe-Brown adalah pengaturan continew atas orang-orang dalam kaitan hubungan yang ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau pola perilaku yang dimapankan secara sosial. Para strukturalis sosial mencoba menafsir ideologi suatu masyarakat, pengaturan tekno ekonomisnya, dan bahkan kelompok tipe kepribadian, terutama sebagai aspek perilaku peran dalam semua institusi sosial utama masyarakat. Dalam pengejahwantahan pola yang idealnya diberlakukan dalam tingkah sehari-hari, individu jarang mematuhi secara tepat hal-hal yang diharapkan dan ditetapkan secara struktural. Dalam melaksanakan peran sosialnya, individu mungkin melakukan tafsir ulang (re-interpretasi), improvisasi, modifikasi, atau inovasi. Dan interaksi sosial yang inovatif ini mungkin menghasilkan perubahan struktur sosial.
Durkheim berpendapat bahwa agama hanya dapat dipahami dengan mengkonsentrasikan pada peran sosialnya dalam menyatukan komunitas di balik rangkaian ritual dan kepercayaan. Gambaran pembatasan agama ini membagi dunia menjadi dua: suci dan profan. Konsekuensi sosial praktek-praktek ke arah bidang yang disucikan itu merupakan kreasi dan reproduksi suatu kolektif keyakinan, suatu kesatuan sosial yang mengikat para anggota ke dalam unit-unit yang homogen. Pembahasan tentang perubahan sosial budaya di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan masyarakat Indonesia itu sendiri dalam menembus perkembangannya. Pengaruh-pengaruh dari luar belum menyebabkan perubahan sosial yang bersifat struktural yang mampu menggeser masyarakat dari posisi tradisional kepada keadaan lain yang lepas ataupun berubah. Pengaruh-pengaruh luar tersebut masih mampu disaring oleh norma dan tatanan masyarakat, atau menjadi pelengkap dan bahkan memperkaya khazanah sosial budaya masyarakat. Demikian pula halnya dengan agama, karateristik dan tradisi dari kelompok masyarakat penyebar agama itu telah memberi warna kehidupan agama dan tidak selalu serupa dengan asal sumbernya. Sehubungan dengan itu dapatlah dikemukakan bahwa tatanan masyarakat, yang berupa unsur tradisi penting dan menjadi pedoman kehidupan, tampak berkesinambungan dari masa ke masa.
E.   Kesimpulan
 Perubahan pola hubungan kiai dengan masyarakat yang mengakibatkan semakin berkurangnya peran kiai merupakan perubahan struktur sosial dimana di dalamnya terdapat pola-pola hubungan dan peran. Perubahan yang terjadi bisa merupakan perubahan kecil atau perubahan besar. Perubahan kecil yang terjadi tidak akan mempengaruhi seluruh sistem yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Weber bahwa kini di zaman global dimana masyarakatnya lebih mengutamakan rasionalisasi dan intelektualisasi, dunia bukan lagi hal yang keramat. Kapitalisme tidak lagi memerlukan dukungan agama, timbul sekularisasi, meskipun tidak berarti menghilangkan agama. Kepercayaan terhadap nilai-nilai asketik bukan merupakan hal yang utama dalam masyarakat kini, nilai-nilai keagamaan dimodifiasi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan, yang berbeda atau bergeser dari nilai-nilai sebelumnya


Daftar Pustaka

 Bruinessen, Martin va n, 1994, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,         Yogyakarta: LkiS
Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES
Horikoshi, Hiroko, 1987, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M
Wahid, Abdurrahman, 1978, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV Dharma Bhakti



[1] Bachtiar Effendi, “Nilai-nilai Kaum Santri” (Jakarta: P3M, 1985) hal.37
[2] Ibid, hal 45
[3] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV Dharma Bhakti, 1978)
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1982) hal 55
[5] Ibid, hal 56
[6] Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hal. 21
[7] Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987), hal 1

0 comments:

Post a Comment