Wednesday, March 27, 2019

Makalah Filsafat Pendidikan


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Filsafat, selain memiliki lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berpaling perhatiannya pada sains, maka akan lahir filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir filsafat hukum. Dan, apabila filsafat berhadapan dan memikirkan pendidikan, maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Pendidikan dipandang sebagai obat penawar semua problematika yang ada dimasyarakat, bahkan ditingkat individu. Seorang individu atau sekelompok masyarakat bisa dikatakan minim terdapat sebuah problem, jika setiap lapisan yang ada memahami betapa pentingnya pendidikan.
Bisa dipahami dari paparan di atas, bahwasannya antara individu atau keluarga, masyarakat dan lembaga sekolah, mempunyai korelasi yang saling berkaitan. Karena membahas pendidikan tentu tidak akan lepas dari ketiga hal di atas. Maka dari itu, disini nantinya akan membahas mengenai bagaimana peran pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan pendidikan sekolah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peran pendidikan keluarga sebagai sumber pencerdasan spiritual ?
2.      Bagaimana peran lembaga pendidikan sekolah sebagai sumber pencerdasan intelektual ?
3.      Bagaimana peran pendidikan masyarakat sebagai sumber pencerdasan emosional ?



BAB II
Pembahasan


A.    Pendidikan Keluarga sebagai Pencerdasan Spiritual
Kecerdasan berasal dari kata “cerdas” yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir dan mengerti). Kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa mahluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia.[1]
Sedangkan spiritual secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi, spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter.[2] Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan. Spiritual berarti pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter seseorang.
            Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah-ibu, akan berakhir apabila sang anak menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.[3]
Keluarga merupakan sekelompok manusia yang terdiri dari (ayah dan ibu) dan anak-anak yang belum kawin (children). Jadi, keluarga sebagai lembaga pendidikan hanya terdiri dari orang tua (ayah, ibu) yang akan bertindak sebagai pendidik, dan anak-anak yang belum berkeluarga sebagai peserta didik.[4]
Tingkah laku anak pada waktu lahir kedunia belum bersifat manusiawi sesungguhnya. Tingkah laku anak akan bersifat manusiawi hanya dengan melalui interaksi sosial. Keluarga merupakan suatu lembaga sosial dimana si anak mengadakan proses sosialisasi yang pertama dalam kehidupannya. Dalam tahun-tahun pertama pada umumnya dalam keluargalah proses humanisasi berlangsung. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama bagi anak untuk mengadakan interaksi sosial.[5]
Bagi keluarga muslim anak merupakan suatu rahmat karunia dari Allah yang wajib disyukuri, tetapi dibalik itu anak merupakan amanah dari Allah kepada orang tua supaya diasuh, dipelihara, dididik dengan sebaiknya, itu sebabnya maka kewajiban orang tua terhadap anaknya tidak cukup memenuhi kebutuhan lahiriyah saja tetapi orang tua juga wajib memenuhi kebutuhan rohaniah anak. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat 06:
يأيّهاالّذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودهاالنّاس والحجارة عليها ملئِكة غلاظ شِداد لايعصون الله ما أمرهم ويفعلون مايؤمرون
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman perihalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menurut penafsiran Sayyid Sabiq, ayat tersebut mengandung arti sebagai berikut “menjaga diri dan keluarga dari siksaan neraka adalah dengan cara memberikan pengajaran dan pendidikan kepada anak serta menumbuhkembangkan dan membiasakan mereka pada akhlak yang baik, menunjukkan mereka ke arah hal-hal yang bermanfaat dan yang membahagiakan mereka kelak”.[6]
Selain itu anak-anak seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah memiliki fitrah dasar (tauhid). Secara fitrah, anak-anak dibekali potensi oleh Allah, dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba dan sekaligus khalifah-Nya di bumi. Kesadaran tentang hal ini, akan mendorong para orang tua untuk melakukan pembelajaran pada anak-anak bahkan ketika mereka masih dalam rahim.
Bahkan menurut pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya arti agama dalam kehidupannya.[7]
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan utama (primary community) dan sebagai lembaga sosial resmi. Pengetahuan bagi orang tua paling tidak meliputi dua hal, yaitu wawasan filosofis berisi pengetahuan tentang kesadaran moral (nilai moralitas), dan kecakapan hidup berisi tentang penanaman perilaku mandiri. Sumber-sumber pendidikan moral di dalam keluarga bisa digali dari adat-istiadat, peradaban, kebudayaan dan ajaran agama yang benar dan cocok. Dari sumber-sumber tersebut dapat diperoleh unsur-unsur nilai moral yang mengakar pada dunia spiritual.[8]

B.     Pendidikan Sekolah sebagai Pencerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar.[9]
Usaha pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah ada di dalam kehidupan, atau dengan kata lain, sekolah harus memiliki kehidupan masyarakat sekelilingnya. Sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya.[10]
Menurut KI Hajar Dewantara lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal, didirikan berdasarkan undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan pendidikan. Dilihat dari posisinya di antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi ini mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar (transmissionn) nilai-nilai kultural yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam aspek hidup dan kehidupan. Pendidikan sekolah mengolah benih nilai moral-spiritual menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional empirikal. Untuk membangun sumber daya yang cerdas intelektual, yaitu ahli dalam bidangnya, cakap, terampil, kreatif dan jujur dalam bersikap atau berperilaku. Setidaknya telah dipersiapkan sistem pembelajaran, yaitu materi pembelajaran dan pengelolaannya.[11]
Tujuan utama dari sistem kegiatan pendidikan yang berlangsung di dalam institusi persekolahan adalah mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran, menjadi cerdas. Secara terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk dilaksanakan metodis, sistematis, intensif, efektif dan efisien menurut ruang dan waktu yang telah ditentukan.
Tetapi, pendidikan sekolah tidak bersifat kodrati, karena dibangun dan dikelola bukan karena ada hubungan darah antara pendidik dan peserta didik. Lembaga pendidikan sekolah dikelola menurut sistem hubungan formal-institusional, yang dikelola menurut prinsip-prinsip manajemen, maksudnya, dibangun dan dikelola menurut tujuan, kebijakan, perencanaan, dan program-program tertentu.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak tidak memungkinkan akan dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan perkembangan pribadi anak, berisikan nilai, norma dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentu yang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.[12]


C.    Lembaga Pendidikan Masyarakat
Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang dan mencerca sesuatu.[13]
            Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[14] Oleh karena itu, secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai sesuatu pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu, emosi dapat juga dikatakan sebagai alat yang merupakan wujud dari perasaan yang kuat.[15]
            Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan di sekolah diperlukan karena keluarga sudah tidak mampu memberikan pengetahuan dan kemampuan-kemampuan kepada anak sesuai dengan tuntutan pada masa modern ini. Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.[16]
            Kebutuhan terhadap pendidikan di masyarakat beraneka ragam corak dan bentuknya. Menurut Philip H. Coombs, bentuk pendidikan di masyarakat berlangsung mulai dari penitipan bayi dan penitipan anak sebelum sekolah,pemberantasan buta huruf, kepramukaan, kelompok pemuda tani, perkumpulan olahraga dan rekreasi, kursus-kursus keterampilan di bidang pertanian dan pertukangan serta yang di luar struktur pendidikan sekolah.[17]
            Pendidikan masyarakat dinilai sebagai pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Jadi setiap bidang kegiatan hidup masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan pendidikan dan pembelajaran. Implementasi pemanfaatan sumber daya manusia seperti itu terwujud sikap dan perilaku objektif, kreatif dan produktif menurut nilai kebenaran, sebagai upaya memajukan kehidupan masyarakat. Posisi dan fungsi pendidikan masyarakat dinilai begitu strategis dalam menggerakkan seluruh potensi sosial agar bisa mencapai tujuan kehidupan masyarakat serta mendorong agar arti penting dan perlunya dibangun kembali konsep dasar.



BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
·         Spiritual secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi, spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter. Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan. Spiritual berarti pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter seseorang.
·         Menurut pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya arti agama dalam kehidupannya.
·         Kecerdasan intelektual adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar.
·         Menurut KI Hajar Dewantara lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal, didirikan berdasarkan undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan pendidikan. Posisi ini mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar (transmissionn) nilai-nilai kultural yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam aspek hidup dan kehidupan. Pendidikan sekolah mengolah benih nilai moral-spiritual menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional empirikal. Untuk membangun sumber daya yang cerdas intelektual.
·         Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang dan mencerca sesuatu.
·         Pendidikan di masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.


Daftar Pustaka
Saleh Mujib, Abdul Rahman dan Wahab, Abdul, Psikologi Suatu Pengantar          dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfa Beta, 2005)
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011)
Suprayoga, Imam. Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press,        2006)
Wikipedia.org diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 03.14
Effendi, E. Usman dan Praja, Juhana S., Pengantar Psikologi, (Bandung:   Angkasa, 1993)
Sujiono .Bambang, dan Nurani Sujiono, Juliani., Mencerdaskan Perilaku Anak       Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini,    (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005)



[1] Abdul Rahman Saleh Muhib dan Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 179 
[2] Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, (Bandung: Alfa Betaa, 2005), hlm. 206 
[3] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011) Hlm. 55
[4] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 63
[5] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 63
[6] Imam Suprayoga, Quo Vadis Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2006), Hlm. 156
[7] Imam Suprayoga, Quo Vadis Pendidikan Islam,... Hlm. 176
[9] Wikipedia.org diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 03.14
[10] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 64
[12] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 64
[13] E. Usman Effendi dan Juhana S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993), Hlm. 79
[14] Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini
Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2005), Hlm. 120
[15] Bambang Sujiono dan Juliani Nurani Sujiono, Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini
Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini,... Hlm. 90
[16] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 65
[17] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan,... Hlm. 65

0 comments:

Post a Comment