PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
MPMBS adalah model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan
sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang
lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini
diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri
pada perbaikan proses pendidikan.
Menurut Direktorat Pendidikan Nasional,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dit. Dikdasmen), MPMBS dapat
didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu
sekolah dalam kerangka pendidikan pendidikan nasional. Karena itu, esensi
MPMBS = otonomi sekolah + pengambilan keputusan partisipatif untuk
mencapai sasaran mutu sekolah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian MPMBS?
2.
Apakah
tujuan MPMBS?
3.
Bagaimanakah konsep MPMBS?
4.
Bagaimanakah
Perbedaan antara MBS dan MPMBS?
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS
SEKOLAH (MPMBS)
A.
Pengertian
MPMBS
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat
diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonoi lebih besar kepada
sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan besar kepada sekolah dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan kebijakan nasional serta
peraturan perundangan yang berlaku (Depiknas, 2002).
MPMBS pada dasarnya adalah bagian dari MBS (Menejemen
Berbasis Sekolah). Focus dari MPMBS terletak pada upaya peningkatan kualitas
mutu sekolah yang diukur dari inputnya prosesnya dan outputnya.[1]
B.
Tujuan
MPMBS
Tujuan
pokok memperlajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah untuk
memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga
sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material
maupun sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Menurut
Shrode dan Voich (1974) tujuan utama Manajemen peningkatan mutu pendidikan
adalah produktifitas dan kepuasan. Mungkin saja tujuan ini tidak tunggal bahkan
jamak atau rangkap, seperti peningkatan mutu pendidikan/lulusannya,
keuntungan/profit yang tinggi, pemenuhan kesempatan kerja pembangunan
daerah/nasional, tanggung jawab sosial.
Tujuan-tujuan ini ditentukan berdasarkan penataan dan pengkajian terhadap
situasi dan kondisi organisasi, seperti kekuatan dan kelemahan, peluang dan
ancaman.[2]
Secara
rinci tujuan manajemen peningkatan Mutu pendidikan antara lain:
a Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran
yang aktif, inovatif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan (PAIKEM)
b. Terciptanya peserta didik yang aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
c. Tercapainya tujuan pendidikan
secara efektif dan efisien.
d. Terbekalinya tenaga kependidikan
dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan.
e. Teratasinya masalah mutu
pendidikan
Pada dasarnya MPMBS bertujuan untuk memandirikan
atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada
sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara
partisipatif. Lebih rincinya, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
(MPMBS) bertujuan untuk:
a) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan
inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang
tersedia.
b) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
(partisipatif).
c) Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua,
masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
C. Konsep MPMBS
Semenjak
diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no 25 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan derivisi menjadi
UU no 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang awalnya
sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk
mengatur dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan
sekolah tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada.
Disebutkan
pula dalam UU sisdiknas tahun 2003 pasal 50 ayat 5 yang berbunyi “pemerintah
kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan
yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 yang
berbunyi “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
menenga, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/sekolah”.[4]
Sedangkan
MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih
besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah
meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka
pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS=otonomi sekolah+
fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran
mutu
sekolah .
Dengan
pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih
besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu,
menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan
mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki
fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang
lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan
kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan
proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan
merupakan unit pendukung dan pelayan Sekolah, khususnya dalam
pengelolaan peningkatan mutu. Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
1)
Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah
2) Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif
sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani
mengambil resiko, dan sebagainya)
3)
Bertanggungjawab terhadap kinerja
sekolah
4)
Memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya
5) Memiliki
control yang kuat terhadap kondisi kerja
6)
Komitmen yang tinggi pada dirinya dan
7) Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. [5]
Secara
umum, paparan di atas telah memberikan gambaran tentang konsep dan dasar
sekolah berbasis otonomi sekolah. Selanjutnya adalah upaya yang dilakukan oleh
pihak sekolah untuk melakukan upaya peningkatan mutu sekolah. Sekolah yang
telah diberi kewenangan penuh untuk memformulasikan ukuran keberhasilan dan
kualitas pendidikannya pun akhirnya memiliki ketergantungan penuh terhadap
budaya organisasi yang dipimpin oleh kepala sekolah dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan terhadap sekolah. Secara alamiah proses hidup mati organisasi
selalu tergantung kepada kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholdernya.[6]
Pemenuhan
terhadap kebutuhan stakeholder menjadi langkah yang wajib ditempuh untuk
meningkatkan kualitas pendidikan sekolah. Proses selanjutnya adalah upaya untuk
memformulasikan visi,misi, dan tujuan sekolah. Setelah formulasi visi,misi, dan
tujuan pun tercapai kemudia dilakukan perencanaan strategis untuk mencapai
visi, misi dan tujuan tersebut.
Perencanaan
strategis itu pun dituangkan ke dalam rencana program-program dan rencana
kegiatan. Setelah proses tersebut selesai dilaksakan proses selanjutnya adalah
mengkalkulasi kebutuhan finansial untuk membiayai semua program sekolah
tersebut. Setelah proses tersebut diatas, kemudian memetakan letak demografis
sekolah dan stakeholder potensial yang mungkin didapatkan sekolah. Hal
itu diperlukan untuk mendukung proses pemenuhan kebutuhan finansial dan
dukungan moral secara penuh dari para stakeholder pada program-program
sekolah.
Seperti
yang telah ditulis sebelumnya, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya
sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu
sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS=
otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran
mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian
yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan
merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan
tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang
berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan
perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan
istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan.
Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga
sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang
berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah
kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya,
kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan
cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan
adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan
memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan
yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan
sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan
keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah
akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk
mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini,
sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan
yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap
dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan
yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan
masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.)
didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai
dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang
diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan
pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap
sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi
sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat
partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki,
makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin
besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam
penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan
relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan
keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.
Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan.
Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah
kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang
baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah
dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah
merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas
sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat
dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka.
Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui
musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta
kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki
kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan
rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu),
memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi
yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama
pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional)
akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam
pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan
rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan
sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang
kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap
kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan
bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya,
pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia
bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana,
dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian
hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat
memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan,
pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah
secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk
mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian,
menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah,
kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus,
sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia
ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.
[1] (www.pakguruonline.com,
diakses tanggal 17 desember 2016)
[3]www.dikdasmen.depdiknas.go.id, Artikel pendidikan, Konsep
Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
Penerbit Citra Umbara,2003) hlm.
33-34
[6]Listyo Prabowo, Manajemen
Pengembangan Mutu Sekolah/Madrasah (Malang: UIN Malang
Press: 2008) hlm. 2
0 comments:
Post a Comment