Friday, May 10, 2019

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MPMBS)


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

MPMBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan.
Menurut Direktorat Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dit. Dikdasmen), MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS = otonomi  sekolah +  pengambilan keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu sekolah. 

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian MPMBS?
2.      Apakah tujuan MPMBS?
3.       Bagaimanakah konsep MPMBS?
4.      Bagaimanakah Perbedaan antara MBS dan MPMBS?

  
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH (MPMBS)
A.     Pengertian MPMBS
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonoi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan besar kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan kebijakan nasional serta peraturan perundangan yang berlaku (Depiknas, 2002).
MPMBS pada dasarnya adalah bagian dari MBS (Menejemen Berbasis Sekolah). Focus dari MPMBS terletak pada upaya peningkatan kualitas mutu sekolah yang diukur dari inputnya prosesnya dan outputnya.[1]
B.     Tujuan MPMBS
Tujuan pokok memperlajari manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah untuk memperoleh cara, tehnik, metode yang sebaik-baiknya dilakukan, sehingga sumber-sumber yang sangat terbatas seperti tenaga, dana, fasilitas, material maupun sepiritual guna mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Menurut Shrode dan Voich (1974) tujuan utama Manajemen peningkatan mutu pendidikan adalah produktifitas dan kepuasan. Mungkin saja tujuan ini tidak tunggal bahkan jamak atau rangkap, seperti peningkatan mutu pendidikan/lulusannya, keuntungan/profit yang tinggi, pemenuhan kesempatan kerja pembangunan daerah/nasional, tanggung  jawab sosial. Tujuan-tujuan ini ditentukan berdasarkan penataan dan pengkajian terhadap situasi dan kondisi organisasi, seperti kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman.[2]
Secara rinci tujuan manajemen peningkatan Mutu pendidikan antara lain:
a  Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif,    efektif, dan menyenangkan (PAIKEM)
b. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki    kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
c.  Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
d. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas administrasi pendidikan.
e.  Teratasinya masalah mutu pendidikan
 Pada dasarnya  MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bertujuan untuk:
a) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif   sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
b) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama (partisipatif).
c) Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. [3]
C.  Konsep MPMBS
Semenjak diberlakukannya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU no 25 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan derivisi menjadi UU no 32 dan 33 tahun 2004, maka berkenaan dengan otonomi daerah yang awalnya sentralisasi menjadi desentralisasi dan sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah tersebut berada dengan mengacu undang-undang yang telah ada.
Disebutkan pula dalam UU sisdiknas tahun 2003 pasal 50 ayat 5 yang berbunyi “pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Dan juga disebutkan dalam pasal 51 ayat 1 yang berbunyi “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menenga, dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/sekolah”.[4]
Sedangkan MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS=otonomi sekolah+ fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran
mutu sekolah .
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah.
Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan Sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu. Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah
2)  Bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya)
3)  Bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah
4)  Memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya
5)  Memiliki control yang kuat terhadap kondisi kerja
6)  Komitmen yang tinggi pada dirinya dan
7)  Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. [5]
Secara umum, paparan di atas telah memberikan gambaran tentang konsep dan dasar sekolah berbasis otonomi sekolah. Selanjutnya adalah upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk melakukan upaya peningkatan mutu sekolah. Sekolah yang telah diberi kewenangan penuh untuk memformulasikan ukuran keberhasilan dan kualitas pendidikannya pun akhirnya memiliki ketergantungan penuh terhadap budaya organisasi yang dipimpin oleh kepala sekolah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap sekolah. Secara alamiah proses hidup mati organisasi selalu tergantung kepada kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholdernya.[6]
Pemenuhan terhadap kebutuhan stakeholder menjadi langkah yang wajib ditempuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekolah. Proses selanjutnya adalah upaya untuk memformulasikan visi,misi, dan tujuan sekolah. Setelah formulasi visi,misi, dan tujuan pun tercapai kemudia dilakukan perencanaan strategis untuk mencapai visi, misi dan tujuan tersebut.
Perencanaan strategis itu pun dituangkan ke dalam rencana program-program dan rencana kegiatan. Setelah proses tersebut selesai dilaksakan proses selanjutnya adalah mengkalkulasi kebutuhan finansial untuk membiayai semua program sekolah tersebut. Setelah proses tersebut diatas, kemudian memetakan letak demografis sekolah dan stakeholder potensial yang mungkin didapatkan sekolah. Hal itu diperlukan untuk mendukung proses pemenuhan kebutuhan finansial dan dukungan moral secara penuh dari para stakeholder pada program-program sekolah.
            Seperti yang telah ditulis sebelumnya, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.


[1] (www.pakguruonline.com, diakses tanggal 17 desember 2016)
[2]Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, , (Bandung: PT Remaja Rosda Karya 2004)
hlm: 15

[3]www.dikdasmen.depdiknas.go.id, Artikel pendidikan, Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.

[4] Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,(Bandung:
Penerbit Citra Umbara,2003) hlm. 33-34

[5] Artikel pendidikan, konsep dasar MPMBM, www.dikdasmen.depdiknas.go.id, hlm: 10-13

[6]Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu Sekolah/Madrasah (Malang: UIN Malang Press: 2008) hlm. 2


0 comments:

Post a Comment