BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Filsafat, selain memiliki
lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang pengetahuan
lainnya. Apabila filsafat berpaling perhatiannya pada sains, maka akan lahir
filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir
filsafat hukum. Dan, apabila filsafat berhadapan dan memikirkan pendidikan,
maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Pendidikan dipandang
sebagai obat penawar semua problematika yang ada dimasyarakat, bahkan ditingkat
individu. Seorang individu atau sekelompok masyarakat bisa dikatakan minim
terdapat sebuah problem, jika setiap lapisan yang ada memahami betapa
pentingnya pendidikan.
Bisa dipahami dari paparan
di atas, bahwasannya antara individu atau keluarga, masyarakat dan lembaga
sekolah, mempunyai korelasi yang saling berkaitan. Karena membahas pendidikan
tentu tidak akan lepas dari ketiga hal di atas. Maka dari itu, disini nantinya
akan membahas mengenai bagaimana peran pendidikan keluarga, pendidikan
masyarakat dan pendidikan sekolah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peran pendidikan
keluarga sebagai sumber pencerdasan spiritual ?
2.
Bagaimana peran lembaga
pendidikan sekolah sebagai sumber pencerdasan intelektual ?
3.
Bagaimana peran pendidikan
masyarakat sebagai sumber pencerdasan emosional ?
BAB II
Pembahasan
Pembahasan
A. Pendidikan Keluarga sebagai Pencerdasan Spiritual
Kecerdasan berasal dari
kata “cerdas” yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir
dan mengerti). Kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa mahluk
hidup yang hanya dimiliki oleh manusia.[1]
Sedangkan
spiritual secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi,
spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia
modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan
fisik, termasuk emosi dan karakter.[2]
Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan. Spiritual berarti
pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter
seseorang.
Menurut Drijarkara,
pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga.
Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang
merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan ibu bertanggung jawab untuk
membantu memanusiakan, membudayakan dan menanamkan nilai-nilai terhadap
anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah-ibu, akan berakhir apabila sang anak
menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan.[3]
Keluarga merupakan
sekelompok manusia yang terdiri dari (ayah dan ibu) dan anak-anak yang belum
kawin (children). Jadi, keluarga sebagai lembaga pendidikan hanya
terdiri dari orang tua (ayah, ibu) yang akan bertindak sebagai pendidik, dan
anak-anak yang belum berkeluarga sebagai peserta didik.[4]
Tingkah laku anak pada
waktu lahir kedunia belum bersifat manusiawi sesungguhnya. Tingkah laku anak
akan bersifat manusiawi hanya dengan melalui interaksi sosial. Keluarga
merupakan suatu lembaga sosial dimana si anak mengadakan proses sosialisasi
yang pertama dalam kehidupannya. Dalam tahun-tahun pertama pada umumnya dalam
keluargalah proses humanisasi berlangsung. Keluarga merupakan kelompok
sosial yang pertama bagi anak untuk mengadakan interaksi sosial.[5]
Bagi keluarga muslim anak
merupakan suatu rahmat karunia dari Allah yang wajib disyukuri, tetapi dibalik
itu anak merupakan amanah dari Allah kepada orang tua supaya diasuh,
dipelihara, dididik dengan sebaiknya, itu sebabnya maka kewajiban orang tua
terhadap anaknya tidak cukup memenuhi kebutuhan lahiriyah saja tetapi orang tua
juga wajib memenuhi kebutuhan rohaniah anak. Sebagaimana firman Allah dalam
surat at-Tahrim ayat 06:
يأيّهاالّذين أمنوا قوا أنفسكم
وأهليكم نارا وقودهاالنّاس والحجارة عليها ملئِكة غلاظ شِداد لايعصون الله ما
أمرهم ويفعلون مايؤمرون
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman perihalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menurut penafsiran Sayyid
Sabiq, ayat tersebut mengandung arti sebagai berikut “menjaga diri dan keluarga
dari siksaan neraka adalah dengan cara memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada anak serta menumbuhkembangkan dan membiasakan mereka pada akhlak yang
baik, menunjukkan mereka ke arah hal-hal yang bermanfaat dan yang membahagiakan
mereka kelak”.[6]
Selain itu anak-anak
seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah memiliki fitrah dasar (tauhid).
Secara fitrah, anak-anak dibekali potensi oleh Allah, dalam rangka
mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba dan sekaligus khalifah-Nya di bumi.
Kesadaran tentang hal ini, akan mendorong para orang tua untuk melakukan
pembelajaran pada anak-anak bahkan ketika mereka masih dalam rahim.
Bahkan menurut
pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada
umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang
diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh
karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan
pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya
arti agama dalam kehidupannya.[7]
Menurut Ki Hajar Dewantara
pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan utama (primary community)
dan sebagai lembaga sosial resmi. Pengetahuan bagi orang tua paling tidak
meliputi dua hal, yaitu wawasan filosofis berisi pengetahuan tentang kesadaran
moral (nilai moralitas), dan kecakapan hidup berisi tentang penanaman perilaku
mandiri. Sumber-sumber pendidikan moral di dalam keluarga bisa digali dari
adat-istiadat, peradaban, kebudayaan dan ajaran agama yang benar dan cocok. Dari
sumber-sumber tersebut dapat diperoleh unsur-unsur nilai moral yang mengakar pada
dunia spiritual.[8]
B. Pendidikan Sekolah sebagai Pencerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual
adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang
mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan
belajar.[9]
Usaha pendidikan di
sekolah merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Sekolah merupakan
lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga
mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah ada di dalam
kehidupan, atau dengan kata lain, sekolah harus memiliki kehidupan masyarakat
sekelilingnya. Sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan
masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya.[10]
Menurut KI Hajar Dewantara
lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal, didirikan berdasarkan
undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan pendidikan. Dilihat dari
posisinya di antara pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Posisi ini
mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan sebagai penyebar (transmissionn)
nilai-nilai kultural yang telah membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam
aspek hidup dan kehidupan. Pendidikan sekolah mengolah benih nilai
moral-spiritual menjadi kecerdasan intelektual yang mengandung nilai kebenaran
yang bersifat rasional empirikal. Untuk membangun sumber daya yang cerdas
intelektual, yaitu ahli dalam bidangnya, cakap, terampil, kreatif dan jujur
dalam bersikap atau berperilaku. Setidaknya telah dipersiapkan sistem
pembelajaran, yaitu materi pembelajaran dan pengelolaannya.[11]
Tujuan utama dari sistem
kegiatan pendidikan yang berlangsung di dalam institusi persekolahan adalah
mengembangkan dan membentuk potensi intelektual atau pikiran, menjadi cerdas.
Secara terprogram dan koordinatif, materi pendidikan dipersiapkan untuk
dilaksanakan metodis, sistematis, intensif, efektif dan efisien menurut ruang
dan waktu yang telah ditentukan.
Tetapi, pendidikan sekolah
tidak bersifat kodrati, karena dibangun dan dikelola bukan karena ada hubungan
darah antara pendidik dan peserta didik. Lembaga pendidikan sekolah dikelola
menurut sistem hubungan formal-institusional, yang dikelola menurut
prinsip-prinsip manajemen, maksudnya, dibangun dan dikelola menurut tujuan,
kebijakan, perencanaan, dan program-program tertentu.
Dalam kehidupan modern
seperti sekarang ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena
tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak tidak memungkinkan
akan dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan
langsung dengan perkembangan pribadi anak, berisikan nilai, norma dan agama,
berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta
pengembangan kecakapan-kecakapan tertentu yang langsung dapat dirasakan dalam
pengisian tenaga kerja.[12]
C. Lembaga Pendidikan Masyarakat
Istilah
emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya
mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu,
misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang
menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk
menyerang dan mencerca sesuatu.[13]
Daniel Goleman merumuskan emosi
sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis serta
serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[14]
Oleh karena itu, secara umum emosi mempunyai fungsi untuk mencapai sesuatu
pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan kesejahteraan pribadi pada saat
berhadapan dengan lingkungan atau objek tertentu, emosi dapat juga dikatakan
sebagai alat yang merupakan wujud dari perasaan yang kuat.[15]
Pendidikan di masyarakat adalah
pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Pendidikan di
sekolah diperlukan karena keluarga sudah tidak mampu memberikan pengetahuan dan
kemampuan-kemampuan kepada anak sesuai dengan tuntutan pada masa modern ini.
Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang
diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi
tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama
dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara
langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.[16]
Kebutuhan terhadap pendidikan di
masyarakat beraneka ragam corak dan bentuknya. Menurut Philip H. Coombs, bentuk
pendidikan di masyarakat berlangsung mulai dari penitipan bayi dan penitipan
anak sebelum sekolah,pemberantasan buta huruf, kepramukaan, kelompok pemuda
tani, perkumpulan olahraga dan rekreasi, kursus-kursus keterampilan di bidang
pertanian dan pertukangan serta yang di luar struktur pendidikan sekolah.[17]
Pendidikan masyarakat dinilai
sebagai pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Jadi setiap bidang
kegiatan hidup masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan
pendidikan dan pembelajaran. Implementasi pemanfaatan sumber daya manusia seperti
itu terwujud sikap dan perilaku objektif, kreatif dan produktif menurut nilai
kebenaran, sebagai upaya memajukan kehidupan masyarakat. Posisi dan fungsi
pendidikan masyarakat dinilai begitu strategis dalam menggerakkan seluruh
potensi sosial agar bisa mencapai tujuan kehidupan masyarakat serta mendorong
agar arti penting dan perlunya dibangun kembali konsep dasar.
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
·
Spiritual
secara etimologi menurut Tony Buztan yang dikutip Agus Efendi, spiritual berasal
dari bahasa latin “spiritus” yang berarti napas. Dalam dunia modern kata itu
merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk
emosi dan karakter. Selanjutnya spiritual berarti batin, rohani atau keagamaan.
Spiritual berarti pula segala sesuatu diluar tubuh fisik, termasuk pikiran,
perasaan, dan karakter seseorang.
·
Menurut
pendapat-pendapat ahli jiwa agama mengatakan bahwa, “agama seseorang itu pada
umumnya akan dibentuk oleh pendidikan, pengalaman serta latihan-latihan yang
diperoleh anak-anak pada saat masa kecilnya dalam lingkungan keluarga. Oleh
karena itu, seorang anak yang pada masa kecilnya tidak pernah mendapatkan
pendidikan agama, maka pada masa dewasa nanti tidak akan merasakan pentingnya
arti agama dalam kehidupannya.
·
Kecerdasan
intelektual adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran
yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan,
memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan
belajar.
·
Menurut
KI Hajar Dewantara lingkungan sekolah merupakan lembaga sosial formal,
didirikan berdasarkan undang-undang negara sebagai tempat atau lingkungan
pendidikan. Posisi ini mengandung arti bahwa pendidikan sekolah berperan
sebagai penyebar (transmissionn) nilai-nilai kultural yang telah
membenih di dalam kehidupan keluarga ke dalam aspek hidup dan kehidupan.
Pendidikan sekolah mengolah benih nilai moral-spiritual menjadi kecerdasan
intelektual yang mengandung nilai kebenaran yang bersifat rasional empirikal.
Untuk membangun sumber daya yang cerdas intelektual.
·
Istilah
emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya
mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu,
misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang
menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati untuk
menyerang dan mencerca sesuatu.
·
Pendidikan
di masyarakat adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan
sekolah. Namun, kenyataan perkembangan kehidupan manusia lebih cepat dari yang
diperkirakan, sehingga sekolah pun sudah tidak mampu lagi dapat memenuhi
tuntutan tersebut. Pendidikan di masyarakat merupakan suatu keharusan, terutama
dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis, yang secara
langsung bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
Saleh Mujib, Abdul Rahman dan
Wahab, Abdul, Psikologi Suatu Pengantar dalam
Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan
Abad 21, (Bandung: Alfa Beta, 2005)
Sadulloh, Uyoh. Pengantar
Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011)
Suprayoga, Imam. Quo Vadis
Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2006)
http://tirtanizertrs.blogspot.co.id/2012/11/sistem-pendidikan-terpadu.html diakses pada
tanggal 25 April 2017
Wikipedia.org diakses pada
tanggal 25 April 2017 pkl 03.14
Effendi, E. Usman dan Praja,
Juhana S., Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1993)
Sujiono .Bambang, dan Nurani
Sujiono, Juliani., Mencerdaskan Perilaku Anak Usia Dini Panduan Orang Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak
Dini, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2005)
[1] Abdul Rahman Saleh Muhib
dan Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 179
[8] http://tirtanizertrs.blogspot.co.id/2012/11/sistem-pendidikan-terpadu.html diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 02.01
[11] http://tirtanizertrs.blogspot.co.id/2012/11/sistem-pendidikan-terpadu.html diakses pada tanggal 25 April 2017 pkl 02.23
Panduan Orang
Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2005),
Hlm. 120
Panduan Orang
Tua dalam Membina Perilaku Anak Sejak Dini,... Hlm. 90
0 comments:
Post a Comment